Sabtu, 26 Mei 2012

MORAL: Memahami Suara Hati (Oleh: Jani Anwar)




Pengantar
            Bayak orang memandang suara hati sebagai penghalang kehendak menusia untuk melakukan apa yang mereka ingini. Manusia merasa tidak nyaman dengan suara hati yang selalu mendesak mereka untuk melakukan yang baik dan meninggalkan sesuatu yang jahat, meski tidak dingini. Untuk itu suara hati harus mereka tekan dan abaikan.[1]
            Suara hati sering berbicara pada saat-saat yang tidak diingini manusia, di mana manusia sudah membuat suatu rencana, tetapi suara hati tidak setuju dan memaksa manusia untuk berbuat yang lain. Oleh karena itu, kebanyakan manusia ingin lepas dan bebas dari desakan suara hati. Padahal, bagi manusia sendiri, suara hati dapat menjadi satu sumber yang paling berharga sebagai pedoman dalam setiap situasi dalam hidup manusia. Suara hati dapat dijadikan pedoman yang paling baik dan terpercaya setelah Kitab Suci, karena Allah memberi petunjuk-Nya juga dalam hati nurani atau dalam sanubari terdalam dari setiap manusia.[2]

Pengertian Suara Hati
            Bagi orang yang sudah terbiasa menggunakan suara hati atau setidaknya sudah sering dengan hal-hal perbuatan baik, suara hati tidak akan mendesak mereka atau membayang-bayangi mereka dalam setiap tingkah laku mereka. Tetapi, jika seseorang melakukan satu tindakan yang bertentangan dengan suara hati, dia tidak akan merasa tenang dan nyaman dengan dirinya sendiri. Hati dan perasaannya akan terus-menerus merasa terbebani oleh rasa besalah. Suara hati akan mendesaknya untuk memperbaiki sikap dan tindakanya yang menyimpang itu, yakni meminta maaf kepada sesama dan Tuhan sendiri. Setelah meminta maaf barulah perasaannya akan pulih kembali dalam ketenangan .[3]
            Mengapa suara hati selalu mendesak manusia untuk berbuat baik? Hal ini terjadi karena suara hati adalah hukum yang tertanam dalah hati nurani manusia sendiri. Suara hati selalu meyerukan kebenaran dan mendesak untuk mencintai kebaikan. Itulah hukum dalam diri dan hati manusia yang ditulis oleh Allah sendiri. Dari hukum itulah martabat manusia dinilai, yakni dari setiap tindakan yang dilakukan sesuai dengan hukum yang ada dalam dirinya itu, yakni suara hatinya.[4]

Fungsi Suara Hati    
            Seluruh reaksi suara hati akan bertindak sesuai fungsinya dipengaruhi juga oleh latarbelakang peribadi setiap manusia. Orang Kristen khususnya tergantung oleh kematangan dalam berpikir dan beriman. Hal ini didasari oleh Kitab Suci sendiri. Jika seseorang sudah mengerti dan pemahaman Kitab Suci serta hal itu sudah ditanamkan di dalam dirinya, maka suara hati itu akan lebih baik mempengaruhi tindakan setiap manusia itu. Kehendak Allah akan selalu mengambil bagian dalam setiap tindakan manusia tersebut melalui suara hatinya.[5]
            Jika manusia tidak bertindak sesuai dengan kehendak Allah meski disaat yang kurang disadarinya sekalipun, setidaknya dia akan disadarkan oleh desakan suara hatinya. Dalam suara hati itulah Allah sudah bertindak dan ambil bagian dalam tingkah lakunya. Dengan demikian, melalui suara hati Allah senantiasa menuntun langkah hidup manusia.[6]
            Suara hati membisikkan kehendak Allah dalam diri manusia karena suara hati merupakan Taurat dalam dirinya sendiri. Taurat yang tertulis dalah hati manusia itu akan menjadi kesaksian bagi manusia atas kesetiaan dan ketidaksetiaannya kepada Allah, karena orang yang setia mengikuti bimbingan suara hatinya adalah orang yang setia pada Allah, dan yang menekan suara hatinya adalah orang yang mengabaikan kehendalak Allah. Suara hati adalah saksi bagi manusia atas kesetiaanya kepada Allah. Manusia tidak bisa menutupi tingkah lakunya dari suara hatinya.[7] 

Refleksi Singkat
            Saya sebagai seorang religius yang sedang menjalani studi, bersyukur atas mata kuliah Moral Fundamental. Secara khusus setelah mempelajari tentang Suara Hati. Dengan mengetahui arti dan fungsi dari suara hati ini, saya merasa sudah berada dalam pengertian yang salah selama ini. Saya mengetahui bahwa suara hati dapat menjadi pedoman bagi manusia, tetapi hanya dalam situasi yang mendesak. Ketika ada pilihan yang membingungkan, disitulah suara hati berperan memberi keputusan. Pada saat kita masih memiliki teman yang bisa diajak untuk berbagi, kita tidak perlu mendengar suara hati. Inilah yang saya mengerti selama ini.
            Setelah mempelajari Suara Hati dalam perkuliahan ini, saya menjadi lebih paham tentang arti dan fungsi dari suara hati itu. Ternyata bukan hanya mengambil keputusan disaat yang membingungkan fungsi dari suara hati. Tetapi lebih dari itu, ternyat Allah sendiri berperan di dalammya. Suara hati dapat mengarahkan setiap saat tindakan saya sesuai dengan kehendak Allah. Disaat mendengar suara hati saya dapat mengetahui apakah rencana dan tindakan saya baik atau tidak baik. Suara hati sendiri dapat menilainya. Tetapi ini tidak saya mengerti selama ini. Hal inilah yang membuat saya sadar bahwa selama ini saya sudah berada dalam pengertian yang salah mengenai suara hati. Dari pengalaman saya pribadi, suara hati sangat jarang saya dengarkan sebagai hukum dan pedoman dalam diri saya.



Daftar Pustaka


White, Jerry. Kejujuran, Moral, dan Suara Hati, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.
Katekismus Gereja Katolik
Paulus II, Yohanes. Veritatis Splendor (Cahaya Kebenaran), Ensiklik Kepada Semua Uskup Geeja Katolik, Jakarta:Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994.


[1] Jerry White, Kejujuran, Moral, dan Suara Hati, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), hlm. 8.
[2] Jerry White, Kejujuran, Moral…, hlm. 8.
[3] Jerry White, Kejujuran, Moral…, hlm. 9-10.
[4] Yohanes Paulus II, Veritatis Splendor (Cahaya Kebenaran), Ensiklik Kepada Semua Uskup Geeja Katolik, (Jakarta:Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994), hlm115-116; bdk. Katekismus Gereja Katolik, no. 1777 dan 1778.
[5] Jerry White, Kejujuran, Moral…, hlm. 10.
[6] Jerry White, Kejujuran, Moral…, hlm. 11.
[7] Yohanes Paulus II, Veritatis Splendor…, hlm. 118-119.

FILSAFAT MANUSIA: Penerangan Eksistensi menurut Karl Jaspers (Oleh: Jani Anwar)



A. Pengantar
            Pada abad XIX ilmu pengetahuan dipandang sebagai segala-galanya, khususnya bagi kaum Positivisme sehingga filsafat juga dianggap sebagi salah satu dari ilmu pengetahuan. Maka segala sesuatu yang dianggap pribadi, individual atau unik dianggap tidak ilmiah. Dengan paham ini metafisika ditolak. Satu hal yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dianggap bukanlah ilmiah dan tidak dapat diterima dalam ilmu pengetahuan sebagai kebenaram. Hal inilah yang dikritik oleh filsuf Karl Jaspers.[1] 
            Jaspers menganggap bahwa filsafat adalah gerak pemikiran yang tidak pernah berhenti. Gerak pemikiran ini menuntut manusia untuk memahami kenyataan sebagai satu hal yang harus dikenal dan dikatakan. Kenyataan itu adalah objek yang selalu terbuka bagi manusia untuk dikenal. Jaspers menyatakan pandangannya tentang ilmu pengetahuan bahwa hal-hal yang diketahui secara ilmiah merupakan tugas ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu filsafat tidak relevan atas hal itu. Filsafat menjadi ilmu yang relevan jika dalam ilmu pengetahuan sudah sampai pada tahap ketidaktahuan.[2]
Menurut Jaspers, filsafat dimulai oleh manusia dengan mempelajari hasil ilmu-ilmu agar diketahui dimana batas yang dapat diketahui dan yang mana yang tidak dapat diketahui. Karena semakin banyak yang diketahui akan semakin banyak hal yang dipertanyakan. Dari pertanyaan-pertanyaan yang timbul itu manusia akan mendapat dasar untuk eksistensinya. Manusia menjadi eksistensi karena pilihan yang bebas terhadap pertanyaan itu. Mengenai eksistensi manusia ini Jaspers membahasnya dalam satu bagian pada karyanya yaitu Penerangan Eksistensi. Mengenai penerangan eksistensi ini Jaspers mengaitkanya dengan Transendensi, karena menurutnya tidak ada eksistensi tanpa transendensi. Transendensi dimaksudkan Jaspers ialah untuk mengungkapkan Allah.[3]

B. Riwayat Hidup
Karl Jaspers lahir pada tanggal 23 Februari 1883 di Oldenburg, Jerman Utara. Dia adalah anak sulung dari Carl Wilhelm Jaspers dan Henriette. Ayahnya seorang ahli hukum dan direktur sebuah bank. Jaspers dididik dalam keluarga Protestan Liberal dan sekolah di Gymnasium di Oldenburg. Sepanjang hidupnya Jaspers menderita penyakit paru-paru bronchiectasis dan penyakit jantung cardiac decompensation. Karena penyakitnya ini Jaspers harus hidup dalam kedisplinan yang sungguh ketat sepanjang hidup sampai ia meninggal pada 26 Februari 1969 di Basel, Switzerland.[4]
Jaspers belajar hukum di Heidelberg dan Műnchen, kemudian meneruskan studi kedokteran di Berlin dan diselesaikannya di Heidelburg pada tahun 1908. Selain masalah kedokteran, Jaspers juga tertarik dengan masalah filosofis. Dia diangkat menjadi guru besar filsafat di Heidelburg pada tahun 1921. Akibat konflik yang terjadi di Jerman, pada tahun 1948 Jaspers dengan isterinya pindah ke Switzerland dan mengajar di Universitas Basel. Di sanalah Jaspers menutup kisah hidupnya dalam usia 86 tahun.[5]       

C. Penerangan Eksistensi
1. Eksistensi
Karl Jaspers memberikan satu defenisi mengenai filsafat eksistensi yang selalu diaggapnya benar. Menurutnya filsafat eksistensi itu adalah pemikiran manusia yang memanfaatkan semua pengatahuan objektif dan sekaligus juga mengatasi pengetahuan objektif tersebut. Dengan pemikiran itulah manusia mau menjadi dirinya sendiri yang menampakkan bahwa dia adalah mahluk eksistensi.[6]
Seperti dalam kata pengantar di atas sudah dikatakan bahwa ilmu pengetahuan pada abad XX dianggap adalah segala-galanya. Semua kebenaran harus dibuktikan oleh ilmu pengetahuan dengan cara empiris. Dalam ilmu pengetahuan manusia dipandang bukan sebagai pribadi yang unik melainkan objek ilmu pengetahuan. Manusia dijadikan sebagai data atau benda yang sama dengan yang lain. Manusia dianggap sama satu dengan yang lain tanpa ada keunikan diantaranya. Di sinilah Jaspers tidak setuju dengan paham itu dan dia menyatakan pahamnya tentang eksistensi manusia, yakni cara berada manusia yang khas. Cara berada manusia itu harus didekati dengan ilmu filsafat, bukan dengan cara ilmu pengetahuan. Jaspers menemukan keterbatasan dalam ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak mengerti arti dari cara berada manusia, nilai yang ada didalamnya dan tujuan dari manusia itu sendiri. Untuk memahami arti, nilai dan tujuan itu filsafat mendapat tugas untuk mengungkapkannya dan ini tak tergantikan oleh ilmu pengetahuan. Dengan filsafat, eksistensi manusia diterangi kearah eksistensi yang sejati.[7]

2.  Paham Karl Jaspers tentang Penerangan Eksistensi
Bagi Jaspers filsafat yang menjelaskan tentang penerangan eksistensi merupakan bagian yang penting. Sebab, dengan penerangan eksistensi manusia memahami dirinya sebagai mahluk yang bereksistensi yakni mengerti dan mencapai “aku” menurut intinya.[8]
Sejak awal Jaspers menerangkan eksistensi selalu behubungan dengan Transendensi. Tidak ada eksistensi tanpa transendensi. Bereksistensi, menurut Jaspers selalu berdiri di hadapan Transendensi. Transendensi itu menyembuyikan dirinya dari eksistensi manusia, yang menjadi dasar dari kebebasn manusia itu sendiri. Dengan paham ini, Jaspers mau mengatakan bahwa kebebasan manusia tidak hanya diberi lewat kebijaksanaan ilahi, tetapi juga melalui apa yang tersembunyi. Transendensi atau yang ilahi berbicara atau bertindak lewat tanda-tanda yang harus dipahami dan dikenal manusia dengan menafsirkannya. Dengan menafsirkan tanda-tanda itu serta bagaimana  cara manusia menyikapinya akan memberi dasar dari eksistensi manusia. Dengan menafsir dan memberi keputusan terhadapnya manusia menentukan menjadi apa dirinya untuk selama-lamanya. Filsafat eksistensi bukan hanya filsafat yang hanya merenungkan kebenaran, tetapi juga menghayati dan menghidupi kebenaran. Dengan ini yang hendak dikatakan Jaspers adalah kebenaran cara berpikir manusia dibuktikan oleh sikap dan tindakannya. Itulah dasar sebagai manusia yang bereksistensi.[9]
Tujuan dari penerangan eksistensi adalah agar setiap individu memahami dan menyadari bahwa dalam diri setiap manusia memiliki keunikan yang mebedakannya dari mahluk lain. Keunikan yang dimaksudkan adalah adanya kemungkinan bagi manusia untuk menentukan dirinya sendiri, karena eksistensi itu bersifat individual dan personal. Kemungkinanku sebagai sebagai pribadi bukanlah kemungkinan manusia lain, Karena apa yang ada dalam diriku menuju kepenuhan yang sejati dalam kebebasanku.[10]
Meski eksistensi memiliki kebebasan yang total, namun eksistensi harus dihayati dalam relasi dengan eksistensi yang lain. Harus ada komunikasi antara eksistensi yang satu dengan yang lain. Dengan demikian penerangan eksistensi membutuhkan komunikasi. Dengan adanya relasi dan komunikasi dengan eksistensi yang lainlah kebebasa dapat kita gunakan. Dalam relasi itu kita dapat memilih dan menyadari diri kita sendiri diantar yang lain. Dengan demikian penerangan eksistensi merupakan mengerti dan belajar menggunakan kebebasan untuk menjadi diriku yang sejati.[11] 

D. Kesimpulan
Pada abab XIX-XX ilmu pengetahuan dipandang sebagai segala-galanya. Metode empiris yang digunakan dianggap merupakan dasar dari satu kebenaran. Segala bidang hendak diukur dengan metode itu. Bahkan manusiapun didekati dengan metode empiris tersebut. Dengan pendekatan itu manusia dianggap hanyalah data dan objek dari ilmu pengetahuan sendiri. Maka, keunikan dan pribadi manusia tidak diakui. Padahal manusi tidak dapat didekati hanya dengan satu metode saja. Masih ada sisi lain yang harus dilihat dari manusia, karena manusia adalah mahluk yang berbeda dari mahluk yang lain, bahkan dengan sesama manusia sendiri.
Keunikan manusia inilah yang mau dipertahankan oleh Karl Jaspers. Manusia tidak bisa hanya didekati dengan metode empiris. Menurut Jaspers, manusia memiliki cara berada yang khas manusiawi yang membedakan manusia dengan  mahluk yang lain. Cara berada yang khas itu disebut eksistensi. Eksistensi itu lebihh diperjelas Jasper sendiri dengan pahamnya tentang Penerangan Eksistensi. Maksudnya manusia yang bereksistensi harus sadar akan kebebasanya dalam menentukan dirinya diantara eksistensi yang lain. Dengan sadar akan kebebasannya manusia akan mencapai eksistensinya yang sejati. Untuk sampai pada eksistensi yang sejati ini, manusia harus sanggup memahami tanda-tanda transendensi. Manusia tidak cukup hanya memahaminya, tetapi juga menghidupinya.



DAFTAR PUSTAKA

Hamersma. Harry, Filsafat Eksistensial Karl  Jaspers, Jakarta: Gramedia, 1985.
Wallraff. Charles F,  Karl Jaspers: An Introduction to His Philosophy, New Jersey: Princeton University Press, 1970.
Bartens. K, Filsafat Barat Abad XX, Jakarta: Gramedia, 1983.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius,1980.


[1] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius,1980), hlm. 109.
[2] Harry Hamersma, Filsafat Eksistensial Karl  Jaspers, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 7.
[3] Harry Hamersma, Filsafat Eksistensi…, hlm . 7-8
[4] Charles F. Wallraff, Karl Jaspers: An Introduction to His Philosophy, (New Jersey: Princeton University Press,  1970) hlm. 3.
[5] Charles F. Wallraff, Karl Jaspers…, hlm. 6-7.
[6] Harry Hamersma, Filsafat Eksistensi…, hlm. 9.
[7] Harry Hamersma, Filsafat Eksistensi…, hlm. 7-8.
[8] K. Bartens., Filsafat Barat Abad XX, (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm.132.
[9] Charles F. Wallraff, Karl Jaspers…, hlm. 182-183.
[10] K. Bartens., Filsafat Barat …,  hlm.133.
[11] K. Bartens., Filsafat Barat …,  hlm. 134.

FILSAFAT MODERN: BUKTI EKSISTENSI ALLAH MENURUT ANSELMUS CANTERBURY (Oleh: Jani Anwar)



1. Pengantar 
          Kodrat manusia sebagai mahluk berhayat diantaranya adalah berpikir dan ingin tahu segala sesuatu. Manusia selalu ingin tahu tentang segala sesuatu yang menyangkut hidupnya. Karena itu, manusia selalu mencari dan mempertanyakan identitasnya sebagai manusia di antara mahluk-mahluk lain. Dari manakah ia datang dan hendak ke mana tujuan hidupnya kelak? Hal tersebut merupakan sebagian kecil dari rasa ingin tahu manusia. Dia ingin lebih dari itu dapat ia ketahui, khususnya darimana dan siapa yang menjadikan dia.[1]
          Dalam relasi dengan alam dan sesamanya, manusia dalam perjalanan hidup merasa ada yang unik di luar dirinya. Manusia berkat naluri manusiawinya, sadar bahwa selain dia masih ada yang lain dan unik di luar dirinya. Ada yang tidak tampak dan tidak dapat dirasakan dengan alat-alat indrawi manusia yang melebihi manusia dan mahluk yang lain. Hal itu “unik” dan disadari memiliki kekuatan yang “adikodrati” yang melebihi kekuatan manusia sendiri. Untuk itulah manusia hendak mencari dan menyingkapkan siapa dan apa sebenarnya dibalik yang “unik” itu.[2]
           Setelah manusia menyadari bahwa yang “adikodrati” itu sungguh berpengaruh dalam hidup manusia, maka dengan rasio, manusia ingin mengenal dan menyingkapkan sosok “adikodrati” itu dengan sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan.[3]
            Penyingkapan terhadap yang unik dan adikodrati ini sudah dimulai oleh manusia berabad-abad yang lalu. Salah satu tokoh yang menyatakan pemikiran dan pandangannya tentang yang adikodrati itu atau sering dipahami dengan “Tuhan” adalah Anselmus dari Canterbury. Dia memaparkan pandangannya tentang siapa itu Tuhan (Allah) dalam hidup manusia dan bagaimana manusia dapat mengerti tentang Dia. Dalam karyanya Anselmus memaparkan alur pemikirannya atau pahamnya mengenai Allah dan bagaimana manusia dapat mengerti tentang Allah dan cara berada-Nya.

2. Riwayat Hidup Singkat
          Anselmus lahir di Aosta, Piemont, Italia sekitar tahun 1033. Ia anak dari pasangan Gondolvo dan Ermenberga. Ayahnya seorang politikus dan bangsawan Lombardia, sedangkan ibunya adalah seorang Bugundia yang kaya raya. Pada waktu ia berumur 27 tahun, Anselmus masuk biara Benediktin di Bec, Normandia dekat Rouen, Prancis. Berkat kegemilangan intelektualnya, Anselmus kemudian diangkat menjadi pemimpin biara di Bec menggantikan Lanfranc. Pada tahun 1093, Anselmus diangkat menjadi Askup Agung Canterbury oleh Raja William II.[4]
          Karya penting Anselmus dalam bidang teologi dan inti ajarannya dalam hubungan ratio dan iman, dikenal dengan istilah “Credo ut intelligam” dan beberapa karyanya yang lain adalah “Cur Deus Homo”(mengapa Allah menjadi manusia),  Monologion, dan  Proslogion.[5] 
          Dalam karangan-karangannya ia yakin bahwa iman bisa menghantar manusia kepada pengertian atau paham “Fides Quaerens Intellectum”(iman berusaha untuk mengerti). Anselmus dalam pembuktiannya tersebut selalu mengawalinya dari ajaran iman. Dia  juga melukiskan ajarannya yang sangat tajam mengenai pembuktian akan adanya eksistensi Allah. Menurutnya Allah sebagai sesuatu yang lebih besar, selain daripada-Nya  tidak ada yang dapat dipikirkan sebagai yang paling besar (aliquid quo maius nihil cogitari potest). Dengan itu ia berhasil mengajak orang untuk membuktikan imannya dengan rasio. Ia mengakhiri karyanya saat berumur 75 tahun  pada 21 April 1109. [6]  

3. Bukti  Eksistensi Allah Menurut Anselmus
            Anselmus mengemukakan argumen tentang ekisistensi Allah dalam karyanya yang dikenal dengan Proslogium. Keberadaan Allah diketahui dan dibuktikan dari ide tentang Allah itu sendiri. Berdasarkan refleksi-rasionalnya, Anselmus sampai kepada kebenaran iman yang sebelumnya sudah dipercayai, bahwa dengan rasio, Kebenaran sebagai sesuatu yang Mutlak, ada dan dapat dibuktikan. Sesuatu yang “ada” ini melampaui “adaan” lainnya, itulah Allah. Hal ini dapat dipikirkan serta dibuktikan oleh akal sehat. Menurut Anselmus manusia  memiliki 2 sumber pengetahuan, yaitu Iman dan akal budi.[7]
Iman menjadi dasar dalam mencari kebenaran. Dalam Proslogium, Anselmus mengungkapkan bahwa berkat imannya ia dapat sampai kepada pengertian akan kebenaran. Menurut Anselmus kita harus percaya terlebih dahulu untuk dapat memperoleh pengertian.[8] Iman adalah titik pangkal spekulasi Anselmus, sebagaimana juga pada Agustinus. “Jika kamu tidak percaya, kamu tidak akan memahaminya”; Anselmus menggarisbawahi perlunya iman. Tetapi itu tidak mengahalangi bahwa, iman yang demikian berusaha mencari pengetahuan, sehigga pada akhirnya dia memahami apa yang semula dipercayai. Di sini yang mau dipahaminya adalah eksistensi dan kodrat Allah.[9]
            Bagi Anselmus melalui perpaduan iman dan pengetahuan dapat disimpulkan paham  sebagai berikut: Fides Quarens Intelectum (Iman yang mencari Pengertian). Berdasarkan  iman orang sampai pada pengetahuan dan pengertian. Diawal karyanya, Proslogium, ada doa yang diungkapkan Anselmus yang mau menyatakan bahwa dengan percayalah manusia dapat memahami Allah, bukan memahami terlebih dahulu baru manusia percaya. Karena manusia tidak akan sanggup memahami Allah tanpa percaya atau tanpa iman.[10].
            Maka, perlu iman, sebab dalam iman kita dibimbing dan diajari untuk sampai kepada kebenaran. Anselmus yakin bahwa Allah yang menganugrahkan pengetahuan kepada imannya. Karena itu iman akan membawa kita kepada pemahaman bahwa sesuatu yang diimani itu sungguh ada. Dalam doanya dia berkata, “oleh karena itu, ya Tuhan, Engkau memberi pengetahuan kepada iman, perkenankanlah aku memahami, sejauh itu Kamu anggap baik, bahwa Engkau ada, seperti kami percayai, dan bahwa Engkau sedemikian seperti yang kami percayai itu.[11]



3.1. Nama Allah
            Dalam pembuktiannya, Anselmus membahas juga mengenai nama “Allah”. Anselmus mengatakan bahwa “Allah ada” dan kehadiran-Nya tidak dapat dipikirkan.  Mengenai nama Allah lebih jelas diungkapkannya setelah memulai doanya yang amat kusuk. Anselmus memberi nama dengan menyebutkan; “ Aliquid quo nihil malus cogitari possit”(sesuatu yang dari pada-Nya tidak dapat dipikirkan atau dibayangkan sesuatu yang lebih besar lagi). Jika kita menyebut nama Allah, maka kita sedang membicarakan sesuatu yang paling besar dan tidak ada yang lebih  besar lagi dari padanya. Maka kebesaran-Nya tidak dapat dibayangkan dan dipikirkan lagi. Karena tidak ada apapun  yang lebih besar dan agung lagi dari Dia sendiri. [12]
           
3.2. Allah dapat Dipahami
            Banyak filsuf dan termasuk orang Kristen mencoba mengerti dan memahami secara rasional segala sesuatu diluar yang nyata sekalipun, sejauh hal itu  masuk akal bagi pemikiran manusia. Anselmus bukan orang yang melulu irrasional karena ia selalu berusaha dan mencoba memahami dan membuktikan isi imannya. Anselmus memulai pembuktiannya dengan bertitik tolak dari imannya akan Allah. Menurutnya, jika orang mau memahami imannya, maka ia akan sampai pada pemikiran rasional.[13]
            Paham dan pengetahuan mengenai adanya Allah berawal dari iman. Imanlah yang pertama-tama menggerakkan hati kita untuk menyelidiki keberadaan-Nya. Setelah hati tergerak, maka akal budi akan berusaha untuk memahami-Nya dengan jalan refleksi. Kemudian rasio berusaha mengangkat kesadaran akan Allah yang masih bersifat afeksi itu sampai kepada tahap pengertian.[14]
            Kenyataan bahwa Allah dapat kita pahami dalam akal budi. Allah dapat kita pikirkan sebagai sesuatu yang tertinggi. Pemahaman akan adanya yang tertinggi sebagai “ada” tidak lepas dari pemikiran kita akan hal itu dalam akal budi. Sesuatu dikatakan kalau dia dapat dibayangkan, dipikirkan dan dipahami dalam akal budi sipemikir.[15]


4. Kritik atas Paham Anselmus dari Canterbury
4.1.Gaunilon
            Gaunilon adalah seorang rahib dari Marmoutier dekat Tours. Dia adalah filsuf yang hidup sejaman dengan Anselmus. Gaunilon sungguh tidak setuju dan tidak membenarkan paham yang diajukan oleh Anselmus mengenai eksistensi Allah. Kritikan Gaunilon atas hal itu ditemukan dalam buku Liber Pro Insipiente  dan sebuah pamphlet yang ia tulis. Gaunilon mengemukakan dua keberatannya. Pertama ia menyanggah kehadiran Yang Maha Tinggi yang dapat dipikirkan itu di dalam akal. Kedua, menyangkal penyimpulan eksistensi real Allah diluar pikiran dari eksistensi Allah di dalam akal. Keberatan pertama dilontarkan oleh Gaunilon karena dia melihat bahwa kita tidak memiliki ide yang pasti tentang Allah..[16]

4.2. Thomas Aquinas
            Thomas Aquinas sebagai  teolog dan filsuf menolak paham Anselmus sebagai bukti Filosofis. Paham Anselmus dipandang dapat membahayakan ajaran Gereja. Bagi Thomas, sesuatu yang terdapat dalam pikiran tidak pernah dapat disimpulkan bahwa hal itu harus ada dalam kenyataan.[17]
            Menurut Thomas defenisi nominal Allah bukanlah “Yang tertinggi yang dapat dipikirkan”, melainkan Causa prima (penyebab utama). Allah dilihat sebagai yang Mahakuasa (defenisi religius). Dalam hal ini Thomas mulai memperlihatkan garis perbedaan antara filsafat dan teologi.[18]

5. Penutup
            Anselmus adalah seorang yang selalu berusaha untuk mencari kepastian dan membela imannya. Karena itu ia berusaha untuk membuktikan eksistensi Allah secara pasti dan benar. Namun tidak diragukan juga dia adalah seorang filsuf yang teguh dan setia pada imannya. Anselmus tidak memberi sumbangan baru atau paham baru mengenai inti iman agamanya. Namun, dalam karya dan pahamnya tentang “Cur Deus Homo “ (mengapa Allah menjadi manusia), orang menjadi mengerti dan sadar akan imannya sendiri.[19]
            Perdebatan mengenai paham Anselmus mengenai Eksistensi Allah masih selalu diperdebatkan oleh para Filsuf. Paham Anselmus tentang Eksistensi Allah ingin dihapus karena dianggap tidak filosofis. Namun ada juga orang yang setia membela dan melihat kebenaran didalamnya. Dengan bantuan Anselmus semuanya itu bermanfaat bagi kita untuk mengambil sikap yang tepat mengenai Allah. Hal ini tercantum dalam Proslogium. Proslogium Anselmus mengatakan bahwa Allah adalah “sesuatu yang daripada-Nya tidak dapat dibayangkan sesuatu yang lebih besar lagi” (aliquid quo nihil maius cogitari possit).[20]
            Anselmus juga berhasil memberi sumbangan baru terhadap kemampuan akal budi yang beperan dalam menyingkapkan eksistensi Allah. Anselmus juga banyak memberikan sumbangan positif terhadap ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan ia berhasil mempersatukan iman dan rasio, teologi dan filsafat. Baginya iman adalah dasar untuk memperoleh pengertian. Berkat iman kita dapat mengerti dan memahami apa yang diimani itu. Dengan demikian jelaslah bahwa Anselmus tidak hanya menaruh perhatian pada imannya saja, tetapi juga berjasa dalam mengembangkan pengetahuan pada umumnya.[21]
            Hal yang sangat kita kagumi dari Anselmus adalah bahwa dia tetap sebagai pembela iman dan Gereja yang benar. Argumen yang rasional tidak berakibat negative terhadap imannya. Karena itu sangat sulit bagi kita jika argument Anselmus ini kita pertimbangkan tanpa konteks iman yang mencari pengertian.[22]












Daftar Kepustakaan

:
 St. Anselm’s. Proslogion. Penerjemah: Charlesworth, M.J. London: University of Notre Dame, 1979.
Barth, Karl. Anselm’s Proof of the Existence of God in the Context of his Theological         Scheme: Roberstston, ian W. London: SCM. Press Ltd, 1960.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Hamersma, Harry. Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1981.
Huijbers, Theo. Manusia Mencari Allah: Suatu Filsafat Ketuhanan. Yogyakarta: Kanisius, 1985.
Leahy, Louis. Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Snijders, Adelbert, Manusia Paradoks dan Seruan.Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Tjahjadi L. Simon Petrus. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius, 2009.



[1] Adelbert Snijders, Manusia Paradoks dan Seruan, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 13-14. bdk. Frans Magnis –Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 17.
[2] Frans Magnis –Suseno, Menalar Tuhan,…,hlm. 17-18.
[3] Theo Huijbers, Manusia Mencari Allah Suatu Filsafat Ketuhanan, (Yogyakarta: Kanisius, 1977), hlm. 13-14.
[4] Harun Adiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1,(Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 93-94.
[5] Harun Adiwijono, Sari Sejarah Filsafat ...,hlm. 94.
[6]  Simon Petrus L. Tjahjadi, Pertualangan Intelektual, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 124.
[7] St. Anselmus, Proslogium, London: University of Notre Dame, 1979 hlm. 115.
[8] St. Anselmus, Proslogium..., hlm. 115.
[9] Louis Kaly, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Kanisius, Yogyakarta 1993, hlm. 135.
[10] St. Anselmus, Proslogium..., hlm. 135.
[11] St. Anselmus, Proslogium..., hlm. 117.
[12] St. Anselmus, Proslogium..., hlm. 116
[13] Frederick, Copleston, A History…, hlm. 159.
[14] Nico Syukur Dister, Filsafat Agama Kristiani, Yogyakarta: kanisius, 1985. Hlm. 171.
[15] St. Anselmus, Proslogium..., hlm. 117. 
[16] M.j, Charlesworth, St. Anselmus Proslogion,  (London: Oxford University Press, 1965), hlm.76.
[17] Leahy, Louis, Filsafat Ketuhanan Kontemporer ( Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm.56.
[18] St. Anselmus, Proslogium..., hlm. 120.
[19] St. Anselmus, Proslogium..., hlm. 125.
[20] Louis, Leahy, Filsafat Ketuhanan…, hlm. 138.
 [21] St. Anselmus, Proslogium..., hlm. 122.
[22] St. Anselmus, Proslogium..., hlm. 140.