A. Pengantar
Pada
abad XIX ilmu pengetahuan dipandang sebagai segala-galanya, khususnya bagi kaum
Positivisme sehingga filsafat juga dianggap sebagi salah satu dari ilmu
pengetahuan. Maka segala sesuatu yang dianggap pribadi, individual atau unik
dianggap tidak ilmiah. Dengan paham ini metafisika ditolak. Satu hal yang tidak
dapat dibuktikan secara empiris dianggap bukanlah ilmiah dan tidak dapat
diterima dalam ilmu pengetahuan sebagai kebenaram. Hal inilah yang dikritik
oleh filsuf Karl Jaspers.[1]
Jaspers
menganggap bahwa filsafat adalah gerak pemikiran yang tidak pernah berhenti.
Gerak pemikiran ini menuntut manusia untuk memahami kenyataan sebagai satu hal
yang harus dikenal dan dikatakan. Kenyataan itu adalah objek yang selalu
terbuka bagi manusia untuk dikenal. Jaspers menyatakan pandangannya tentang
ilmu pengetahuan bahwa hal-hal yang diketahui secara ilmiah merupakan tugas
ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu filsafat tidak relevan atas hal itu. Filsafat
menjadi ilmu yang relevan jika dalam ilmu pengetahuan sudah sampai pada tahap
ketidaktahuan.[2]
Menurut Jaspers, filsafat dimulai
oleh manusia dengan mempelajari hasil ilmu-ilmu agar diketahui dimana batas
yang dapat diketahui dan yang mana yang tidak dapat diketahui. Karena semakin
banyak yang diketahui akan semakin banyak hal yang dipertanyakan. Dari
pertanyaan-pertanyaan yang timbul itu manusia akan mendapat dasar untuk
eksistensinya. Manusia menjadi eksistensi karena pilihan yang bebas terhadap
pertanyaan itu. Mengenai eksistensi manusia ini Jaspers membahasnya dalam satu
bagian pada karyanya yaitu Penerangan Eksistensi. Mengenai penerangan
eksistensi ini Jaspers mengaitkanya dengan Transendensi, karena menurutnya
tidak ada eksistensi tanpa transendensi. Transendensi dimaksudkan Jaspers ialah
untuk mengungkapkan Allah.[3]
B. Riwayat Hidup
Karl Jaspers lahir pada tanggal 23
Februari 1883 di Oldenburg, Jerman Utara. Dia adalah anak sulung dari Carl
Wilhelm Jaspers dan Henriette. Ayahnya seorang ahli hukum dan direktur sebuah
bank. Jaspers dididik dalam keluarga Protestan Liberal dan sekolah di Gymnasium
di Oldenburg. Sepanjang hidupnya Jaspers menderita penyakit paru-paru bronchiectasis dan penyakit jantung cardiac decompensation. Karena
penyakitnya ini Jaspers harus hidup dalam kedisplinan yang sungguh ketat
sepanjang hidup sampai ia meninggal pada 26 Februari 1969 di Basel,
Switzerland.[4]
Jaspers belajar hukum di Heidelberg dan Műnchen, kemudian meneruskan studi
kedokteran di Berlin
dan diselesaikannya di Heidelburg pada tahun 1908. Selain masalah kedokteran,
Jaspers juga tertarik dengan masalah filosofis. Dia diangkat menjadi guru besar
filsafat di Heidelburg pada tahun 1921. Akibat konflik yang terjadi di Jerman,
pada tahun 1948 Jaspers dengan isterinya pindah ke Switzerland
dan mengajar di Universitas Basel.
Di sanalah Jaspers menutup kisah hidupnya dalam usia 86 tahun.[5]
C. Penerangan
Eksistensi
1. Eksistensi
Karl Jaspers memberikan satu
defenisi mengenai filsafat eksistensi yang selalu diaggapnya benar. Menurutnya
filsafat eksistensi itu adalah pemikiran manusia yang memanfaatkan semua
pengatahuan objektif dan sekaligus juga mengatasi pengetahuan objektif tersebut.
Dengan pemikiran itulah manusia mau menjadi dirinya sendiri yang menampakkan
bahwa dia adalah mahluk eksistensi.[6]
Seperti dalam kata pengantar di
atas sudah dikatakan bahwa ilmu pengetahuan pada abad XX dianggap adalah
segala-galanya. Semua kebenaran harus dibuktikan oleh ilmu pengetahuan dengan
cara empiris. Dalam ilmu pengetahuan manusia dipandang bukan sebagai pribadi
yang unik melainkan objek ilmu pengetahuan. Manusia dijadikan sebagai data atau
benda yang sama dengan yang lain. Manusia dianggap sama satu dengan yang lain
tanpa ada keunikan diantaranya. Di sinilah Jaspers tidak setuju dengan paham
itu dan dia menyatakan pahamnya tentang eksistensi manusia, yakni cara berada
manusia yang khas. Cara berada manusia itu harus didekati dengan ilmu filsafat,
bukan dengan cara ilmu pengetahuan. Jaspers menemukan keterbatasan dalam ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak mengerti arti dari cara berada manusia,
nilai yang ada didalamnya dan tujuan dari manusia itu sendiri. Untuk memahami
arti, nilai dan tujuan itu filsafat mendapat tugas untuk mengungkapkannya dan
ini tak tergantikan oleh ilmu pengetahuan. Dengan filsafat, eksistensi manusia
diterangi kearah eksistensi yang sejati.[7]
2. Paham Karl Jaspers tentang Penerangan
Eksistensi
Bagi Jaspers filsafat yang
menjelaskan tentang penerangan eksistensi merupakan bagian yang penting. Sebab,
dengan penerangan eksistensi manusia memahami dirinya sebagai mahluk yang
bereksistensi yakni mengerti dan mencapai “aku” menurut intinya.[8]
Sejak awal Jaspers menerangkan
eksistensi selalu behubungan dengan Transendensi. Tidak ada eksistensi tanpa
transendensi. Bereksistensi, menurut Jaspers selalu berdiri di hadapan
Transendensi. Transendensi itu menyembuyikan dirinya dari eksistensi manusia,
yang menjadi dasar dari kebebasn manusia itu sendiri. Dengan paham ini, Jaspers
mau mengatakan bahwa kebebasan manusia tidak hanya diberi lewat kebijaksanaan
ilahi, tetapi juga melalui apa yang tersembunyi. Transendensi atau yang ilahi
berbicara atau bertindak lewat tanda-tanda yang harus dipahami dan dikenal
manusia dengan menafsirkannya. Dengan menafsirkan tanda-tanda itu serta
bagaimana cara manusia menyikapinya akan
memberi dasar dari eksistensi manusia. Dengan menafsir dan memberi keputusan
terhadapnya manusia menentukan menjadi apa dirinya untuk selama-lamanya.
Filsafat eksistensi bukan hanya filsafat yang hanya merenungkan kebenaran,
tetapi juga menghayati dan menghidupi kebenaran. Dengan ini yang hendak
dikatakan Jaspers adalah kebenaran cara berpikir manusia dibuktikan oleh sikap
dan tindakannya. Itulah dasar sebagai manusia yang bereksistensi.[9]
Tujuan dari penerangan eksistensi
adalah agar setiap individu memahami dan menyadari bahwa dalam diri setiap
manusia memiliki keunikan yang mebedakannya dari mahluk lain. Keunikan yang dimaksudkan
adalah adanya kemungkinan bagi manusia untuk menentukan dirinya sendiri, karena
eksistensi itu bersifat individual dan personal. Kemungkinanku sebagai sebagai
pribadi bukanlah kemungkinan manusia lain, Karena apa yang ada dalam diriku menuju
kepenuhan yang sejati dalam kebebasanku.[10]
Meski eksistensi memiliki kebebasan
yang total, namun eksistensi harus dihayati dalam relasi dengan eksistensi yang
lain. Harus ada komunikasi antara eksistensi yang satu dengan yang lain. Dengan
demikian penerangan eksistensi membutuhkan komunikasi. Dengan adanya relasi dan
komunikasi dengan eksistensi yang lainlah kebebasa dapat kita gunakan. Dalam
relasi itu kita dapat memilih dan menyadari diri kita sendiri diantar yang
lain. Dengan demikian penerangan eksistensi merupakan mengerti dan belajar
menggunakan kebebasan untuk menjadi diriku yang sejati.[11]
D. Kesimpulan
Pada abab XIX-XX ilmu pengetahuan
dipandang sebagai segala-galanya. Metode empiris yang digunakan dianggap merupakan
dasar dari satu kebenaran. Segala bidang hendak diukur dengan metode itu.
Bahkan manusiapun didekati dengan metode empiris tersebut. Dengan pendekatan
itu manusia dianggap hanyalah data dan objek dari ilmu pengetahuan sendiri.
Maka, keunikan dan pribadi manusia tidak diakui. Padahal manusi tidak dapat
didekati hanya dengan satu metode saja. Masih ada sisi lain yang harus dilihat
dari manusia, karena manusia adalah mahluk yang berbeda dari mahluk yang lain,
bahkan dengan sesama manusia sendiri.
Keunikan manusia inilah yang mau
dipertahankan oleh Karl Jaspers. Manusia tidak bisa hanya didekati dengan
metode empiris. Menurut Jaspers, manusia memiliki cara berada yang khas
manusiawi yang membedakan manusia dengan
mahluk yang lain. Cara berada yang khas itu disebut eksistensi.
Eksistensi itu lebihh diperjelas Jasper sendiri dengan pahamnya tentang
Penerangan Eksistensi. Maksudnya manusia yang bereksistensi harus sadar akan
kebebasanya dalam menentukan dirinya diantara eksistensi yang lain. Dengan
sadar akan kebebasannya manusia akan mencapai eksistensinya yang sejati. Untuk
sampai pada eksistensi yang sejati ini, manusia harus sanggup memahami
tanda-tanda transendensi. Manusia tidak cukup hanya memahaminya, tetapi juga
menghidupinya.
DAFTAR PUSTAKA
Hamersma. Harry,
Filsafat Eksistensial Karl Jaspers, Jakarta: Gramedia, 1985.
Wallraff.
Charles F, Karl Jaspers: An Introduction to His Philosophy, New
Jersey: Princeton
University Press, 1970.
Bartens. K, Filsafat Barat Abad XX, Jakarta: Gramedia, 1983.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah
Filsafat Barat 2, Yogyakarta:
Kanisius,1980.
[1]
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat
Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius,1980), hlm. 109.
[2]
Harry Hamersma, Filsafat Eksistensial
Karl Jaspers, (Jakarta: Gramedia,
1985), hlm. 7.
[3]
Harry Hamersma, Filsafat Eksistensi…,
hlm . 7-8
[4]
Charles F. Wallraff, Karl Jaspers: An
Introduction to His Philosophy, (New Jersey: Princeton University
Press, 1970) hlm. 3.
[5]
Charles F. Wallraff, Karl Jaspers…,
hlm. 6-7.
[6]
Harry Hamersma, Filsafat Eksistensi…,
hlm. 9.
[7]
Harry Hamersma, Filsafat Eksistensi…,
hlm. 7-8.
[8] K.
Bartens., Filsafat Barat Abad XX, (Jakarta:
Gramedia, 1983), hlm.132.
[9]
Charles F. Wallraff, Karl Jaspers…,
hlm. 182-183.
[10]
K. Bartens., Filsafat Barat …, hlm.133.
[11]
K. Bartens., Filsafat Barat …, hlm. 134.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar