Sabtu, 26 Mei 2012

GENDANG GURO-GURO ARON Oleh: Jani Anwar, Aknesius Sihotang, Roma Tarigan dan Valent Christian Sihotang



I. Pendahuluan
a. Letak Geografis
            Suku Karo mendiami suatu daerah yang meliputi Dataran Tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu dan sebagian dari Dairi[1]. Terpisahnya wilayah masyarakat Karo disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internalnya ialah pertikaian atau perselisihan antara desa. Faktor eksternalnya ialah politik devide et impera Belanda yang memisahkan orang-orang Karo dalam sistem administrasi pemerintahan yang berbeda. Namun perbedaan antara budaya Karo pada tempat yang berbeda adalah perbedaan yang bersifat instrumental dan bukan perbedaan yang bersifat fundamental.
            Bentuk dataran tinggi Kabupaten Karo menyerupai sebuah kuali yang sangat besar karena dikelilingi oleh pegunungan dengan ketinggian 140-1400 m dpl, yang terhampar di punggung Bukit Barisan. Kabupaten Karo memiliki beberapa gunung, di antaranya  gunung Barus, Pinto, Sibayak, Simole, Sinabung dan Sibuaten. Dari semua gunung itu Sibayak dan Sinabung merupakan gunung yang aktif.[2]


b. Sekilas Tentang Suku Karo[3]
Suku Karo berasal dari keturunan panglima yang bernama Karo. Ia adalah seorang pengawal Maharaja yang sangat kaya, sakti, dan berwibawa. Pada suatu ketika sang maharaja bermaksud untuk mencari suatu tempat yang lebih luas. Pada saat mengadakan perjalanan menuju suatu pulau, perahu mereka terkatung-katung dan terjungkal akibat angin kencang dan gelombang yang besar. Mereka pun menjadi pasrah karena tak ada lagi yang bisa mereka perbuat.
          Perahu yang dinaiki oleh panglima itu, terdampar di sebuah pulau bernama Berhala. Sementara rombongan yang bersama maharaja tidak tahu entah di mana. Akhirnya  mereka menemukan tempat yang tepat untuk menjadi tempat tinggal mereka. Nama tempat itu adalah Mulawari yang berseberangan dengan si Capah, yang sekarang bernama Seberaya, sebab akhirnya tempat yang di sekitarnya dinamai Sukapiring.
Dari waktu ke waktu jumlah mereka pun bertambah banyak. Maka mereka ada yang bergeser ke tempat yang lain seperti, ke Kutabale, Samura, Seberaya, Sukanalu, dan ke Suka. Demikianlah setelah beratus dan beribu tahun jumlahnya semakin bertambah. Mereka menempati wilayah si Karo sampai ke Barat, sampai dengan Aceh, ke Selatan berbatasan dengan Tapanuli Utara, dan sampai ke Dairi, sedangkan ke arah Timur sampai menempati sebahagian daerah Simalungun.
Dalam diri masyarakat Suku Karo ada prinsip untuk saling menolong dan juga saling melindungi dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Karo dan orang yang sudah menjadi orang Karo nyatanya sudah menyadari benar-benar penyelenggaraan adat suku Karo itu sifatnya, bukan formalitas tetapi merupakan manifestasi dari tanggungjawab. Setiap orang Karo akan selalu berada dalam satu fungsi dari Sangkep si Telu atau Orat si Waluh. Artinya suatu ketika ia berfungsi sebagai sukut (pemeran utama) dan lain kali mungkin ia berperan sebagai kalimbubu atau lain kali lagi akan menjadi anak beru  dan begitulah terus menerus. Mereka tidak terlalu rajin, dan juga tidak pemalas. Motto mereka adalah berkembang-biak murah rejeki (ertuah banyak sangap encari). Logo hidup mereka adalah perbanyak mata pencaharian supaya banyak hasilnya dan gunakan kesempatan dan momen yang ada (perbelang juma maka belang manperrmanin, jemur pangendu sangana las) [4] .
Sedangkan menurut sumber lain etnik Karo termasuk proto melayu (Palaleo Mongoloit) yang bercampur dengan ras Negroid (negrito). Ras Negroid telah mendiami Nusantara ±12.000 tahun lalu. Terjadinya percampuran orang Karo dengan ras negroid disebut Umang seperti yang terungkap dalam legenda. Manusia Umang ini hidup dalam goa-goa dalam lubang batu, seperti yang terdapat di Durintani, -Sembahe, Suka Lue Deli Serdang (Batu Kemang). Perkakas mereka terbuat dari batu yang tajam yang disebut “Sumatra Lith“. Makanan mereka adalah kerang (Kyokkenmodinger) yang banyak terdapat dalam radius 130 Km antara Temiang sampai Serdang[5].

c. Struktur Masyarakat Karo
1.Marga Suku Karo
Marga menurut beberapa tokoh berasal dari kata “meherga” yang berarti berharga atau mahal. Hal ini menimbulkan suatu pandangan dalam masyasrakat Karo bahwa orang yang memiliki marga adalah orang yang terpandang, jelas asal-usulnya sedangkan orang yang tidak bermarga adalah orang asing. Sudah sejak dahulu marga dan beru dikenal dalam masyarakat Karo. Marga digunakan untuk laki-laki sedangkan untuk perempuan digunakan beru. Marga seorang anak diturunkan oleh orang tuanya laki-laki (garis keturunan Patrineal).
            Marga itu sangat penting. Tokoh-tokoh Karo mengemukakan alasan mengapa marga itu dibutuhkan. Memang masih seputar pengetahuan, apakah seseorang itu orang asing atau tidak. Hal ini diceritakan demikian: dulu jalan antar satu kampung dengan kampung lain hanya dihubungkan dengan jalan setapak. Di kiri-kanan jalan itu masih terdapat hutan. Penduduk kampung yang satu dengan kampung yang lain tidak saling kenal dan tidak jarang ketika berpapasan dengan orang yang berasal dari kampung sebelah tidak saling sapa. Salah satu jalan untuk mengadakan sosialisasi kepada sesama adalah dengan membentuk marga. Setiap orang memakai marga tertentu, apabila berpapasan di jalan maka antara yang satu dengan yang lain saling sapa dengan menyebutkan marga. Misalnya, seseorang bertanya kepada yang lain, siapa kau? Jawabnya aku Tarigan, Ginting, Sembiring dst. Orang yang menjawab dan orang yang ditanya dapat diketahui bukanlah orang asing.  
      Seiring dengan perkembangan zaman, akhirnya marga itu memiliki nilai dan manfaat yang besar. Nilai dan manfaat yang diperoleh yakni:
  1. Marga membuat seorang anggota masyarakat dihargai, disegani dan dihormati.
  2. Sebagai tanda pengenal bagi orang Karo
  3. Sebagai tanda garis keturunan dalam orang Karo.
  4. Bagian atau unsur yang terdapat dalam pemilikan dan pewarisan pada suku Karo
  5. Menunjukkan posisi atas sangkaut-paut keluarga dan lingkungan secara langsung dan tidak langsung.
Pendapat para tokoh masyarakat mengenai lima marga yang ada dalam karo ini mau mengatakan sesuai dengan jumlah jari, dan mudah diingat. Marga induk ini memiliki sub-sub yang tertera di bawah ini[6]:
1. Karo-karo terdiri dari: Sekali, Kemit, Samura, Sitepu, Sinuhaji, Sinuraya, Sinulingga, Bukit, Barus, Kaban, Purba, Kacaribu, Ketaren, Sinukaban, Surbakti, Sinubulan, Gurusinga, jung, Manik, Torong.
2. Marga Ginting terdiri dari: Suka, Suihen, Seragih, Sinusinga, Munte, Manik, Babo, Beras, Garamata, Gurpatih, Ajinembah, Jawak, Jadibata, Tumangger, Capah, Pase.
3. Marga Sembiring terdiri dari: Berahmana, Meliala, Muham, Pandia, Pelawi, Depari, Colia, Tekang, Gurukinayan, Bunuaji, Kelking, Kembaren, Keloko, Sipayung, Sinuaki, Bhusuk, Sinukapar.
4. Marga Perangin-angin terdiri dari: Kacinambun, Bangun, Pinem, Perbesi, Sukatendel, Singarimbun, Pencawan, Keliat, Kutabuluh, Sebayang, Ullunjandi, Benjereng, Mano, Namohaji, Uwir, Laksa, Panggarun, Sinurat.
5. Marga Tarigan terdiri dari: Tua, Tegur, Tambun, Tendang, Tambak, Gersang, Gerneng, Gana-gana, Purba, Pekan, Sibero, Silangit, Janpang, Bondong.
      Sub marga mengalami pertambahan/peningkatan karena masuknya suku-suku lain ke dalam suku Karo dan berasimilasi dengan kebudayaan, marga orang Karo.

2.  Sistem kekerabatan Karo
Sistem kekerabatan dalam masyasrakat Karo merupakan elemen penting yang berintegerasi dengan hidup. Sistem kekerabatan ini menunjukkan kepedulian dan rasa cinta. Masyarakat Karo dibentuk oleh sistem kekerabatan[7].
Sistem kekerabatan ini terbentuk karena ada perkawinan antar marga yang satu dengan yang lain atau antara marga dengan sub marga dan membentuk keluarga baru. Dalam perkawinan keluarga pihak laki-laki dinamakan “anak beru” oleh keluarga perempuan. Sedangkan keluarga perempuan dinamakan “kalimbubu” oleh pihak keluarga laki-laki. Faktor ini yang membuat persaudaraan dalam suku Karo semakin meluas. Maka muncullah sistem kekerabatan yang dikenal dengan istilah Sangkep Nggeluh atau sangkep Sitelu.[8]
a. Sangkep Nggeluh atau Sangkep Sitelu
Sangkep nggeluh yang berarti kelengkapan  hidup. Sering juga disebut sangkep sitelu artinya kelengkapan dari tiga unsur keluarga. Sangkep nggeluh membahas suatu rencana kerja menyangkut kegiatan dalam keluarga, apa yang diperoleh dari masyarakat itulah yang dilaksanakan oleh anak beru sukut.

Unsur-unsur sangkep nggeluh[9]:
1.Sukut (sembuyak/senina)[10]
Sukut/sembuyak/senina dimaksudkan dalam sukut itu termasuk sembuyak dan senina. Misalnya keluarga si A sebagai sukut (tuan rumah) maka didalamnya turut sembuyak dan seninanya.
-Sembuyak artinya saudara kandung; satu perut dalam satu ayah dan satu ibu.
- Senina artinya saudara, karena satu nenek, dalam hal ini dari pihak ayah. 
2. Kalimbubu[11]
Kalimbubu ialah pihak keluarga perempuan yang dikawini. Dalam hal ini bila pihak kita kawin dengan seorang perempuan, maka keluarga pihak perempuan adalah kalimbubu kita. Disebabkan ada perkawinan tersebut maka nenek, ayah dan anak-anaknya semua telah jadi golongan kalimbubu. Dalam adat Karo kedudukan kalimbubu sangat dihormati, malahan disebutkan dengan istilah “Dibata teridah”, artinya Allah yang kelihatan.
3. Anak Beru[12]
Anak beru adalah pihak keluarga laki-laki yang kawin atau mengambil anak perempuan suatu keluarga.Contoh: keluarga A kawin dengan anak perempuan keluarga B maka kelauarga A menjadi anak beru keluarga B. padahal sebelumnya keluarga B telah memiliki anak beru secara berjenjang atau menurut tingkatan.

II. Kesenian Karo Secara Umum
            Seperti dalam suku-suku lain, suku Karo pun mempunyai kesenian yang sudah ada sejak zaman dahulu. Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi suku Karo bahwa ternyata mereka juga mempunyai seni yang dapat diperlihatkan kepada orang lain. Banyak karya dapat ditemui yang merupakan hasil dari karya seni  dari suku Karo dan diwariskan turun-temurun. Antaralain, pakaian, perhiasan, alat-alat rumah tangga dan alat-alat kesenian lainnya.[13]
            Antara tahun 1952 sampai tahun 1962 kesenian Karo masih dapat dikatakan tetap setabil dan cukup memadai. Masyarakat Karo masih memperhatikan dan menjaga budayanya. Tapi, dalam perkembangan waktu, kesenian Karo juga berubah. Terutama dalam seni musik. Dalam perkembanganya, alat-alat musik tradisional digeser oleh alat musik elektrik. Dengan ini dirasakan bahwa seni Karo sulit dipertahankan akibat arus globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, kebudayaan Karo tidak akan berhenti sampai disini saja. Meski arus zaman sudah menggeser sebagian kebudayaan Karo yang asli, namun Seni Budaya Karo tetap ada dalam hati setiap orang Karo yang mencintai  seni Karo tersebut.[14]
           

2.1 Sejarah Guro-Guro Aron
            Guro-guro yang kita kenal sekarang merupakan hasil perkembangan dari aron (kerja sama di ladang orang lain). Aron ini sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian: aron tanggung yang berarti yang pekerjaannya tidak terlalu berat dan aron belin artinya pekerjaan yang berat seperti mencangkul ladang. Para pekerja bekerja dari pagi-pagi samapi siang kemudian berhenti. Karena sudah merasa letih. Supaya orang tidak merasa tidak terlalu letih, maka dimintalah sekalak singuda (seorang gadis) untuk menari dan bernyanyi. Melihat hal ini seorang pemuda berkata: “Nari, jemaka nandangi singgem gelap, gendang ipengadi lebe”[15]Selanjutnya guro-guro aron mengalami perkembangan. Kini guro-guro aron dilaksanakan terpisah dengan aron, meskipun namanya masih disatukan.  

2.2 Sarana Pendukung/Alat-alat yang Digunakan
            Masyarakat Karo juga memepunyai kesenian misik yang digunakan dalam beerbagai kegiatan dalah acara adat istiadatnya. Dalam Guro.guro Aron ini pun digunakan alat musik untuk menunjang kegiatan tersebut.
Adapun alat-alat yang dugunakan antara lain ialah:
a. Gendang Indungna
            Gendang Indungna dibuat dari pohon nangka dengan melobangi dari pagkal sampai ke ujung gendang. Kemudian bagian ujung dan pangkal tersebut ditutup dengan kulit hewan, biasanya orang Karo membuat penutup gendang tersebut dari kulit napuh (kancil). Dari bingkai pangkal ke bingkai ujung diikat dengan tali untuk mengatur tinggi rendahnya suara. Pengikat ini biasanya juga terbuat dari kulit hewan. Pemukul gendang tersebut digunakan kayu dari pohon jeruk. Gendang ini di pukul pada bagian ujung gendang yang permukaanya lebih lebar.[16]
 
b. Gendang Anakna
            Gendang Anakna sama seperti gendang Indungna. Perbedaan dari gendang Anakna ialah, gendang ini terdiri dari dua gendang, satu besar dan satu lebih keci. Cara memukul gendang ini yaitu satu pemukul untuk gendang yang besar dan satu lagi untuk memukul gendang yang kecil.[17]
c. Gung
            Gung (gong) terbuat dari jenis logam kuningan. Gung dalam alat musik Karo ada dua buah, yang besar tetap disebut Gung dan yang lebih kecil disebut penganak. Gung ini berdiameter 75cm dan penganak berdiameter 20cm. Gung dan penganak ini di mainkan seorang pemain musik.[18]
d. Sarunai
            Sarunai adalah alat musik tiup yang sama seperti alat musik tiup yang ada dalam alat musik dalam suku-suku yang kita ketahui. Sarunai ini terbuat dari pohon selantam dan diberi lobang dari pangkal sampai ke ujunng. Kemudian sarunai ini diberi lobang untuk mengatur nada-nada yang diinginkan. Pada ujung sarunai diletakkan daun kelapa yang diikat pada tulang bulu ayam. Kemudian daun kelapa yng diikat pada tulang bulu ayam tadi diletakkan pada timah-timah dan diberi pembatas dari tulang.[19]

2.3 Tata Cara Pelaksanaan Guro-Guro Aron[20]
Guro-guro aron dilaksanakan pada hari yang telah ditetapkan oleh penghulu aron. Penghulu aron beserta sebahagian yang berkepentingan demi lancarnya guro-guro aron berkumpul dalam suatu hari untuk menentukan kapan dan di mana guro-guro aron itu akan dilaksanakan. Ketika waktu dan tempat pelaksanaan guro-guro aron itu telah disepakati, maka akan diumumkan kepada segenap warga setempat.
a. Pengulu aron dan Kemberahen aron
Guro-guro aron biasanya dipimpin oleh seorang pengulu aron dan seorang kemberahen aron. Penghulu aron biasanya dipilih dari pemuda keturunan bangsa tanah (si mantek kuta), dalam Batak Toba disebut Raja Huta, dan Pakpak disebut Marga tanoh (simbuka kuta). Sementara kemberahen aron dipilih dari pemudi anak kalimbubu kuta. Atau kalau hal ini tidak memungkinkan, maka penghulu aron diangkat dari pemuda anak beru kuta dan kemberahen kuta diangkat dari anaksi mantek kuta. Adakalanya penghulu aron dikenakan bunga empalas, yaitu ruas buluh raga dialis sehingga kelihatan tipis dan diurai sehingga menyerupaibunga pinang (mayang). Di samping itu dia juga membawa sebuah tikar kecil  (amak cur) sebagai tempat duduk.[21]
b. Si mantek guro-guro aron
Dalam budaya Karo yang dimaksud si mantek guro-guro aron  adalah pemuda dan pemudi yang ikut ambil bagian dalam acara guro-guro aron tersebut. Si mantek guro-guro aron ini berkewajiban membayar biaya yang telah ditentukan dalam musyawarah. Dalam acara menari, para simantek guro-guro aron ini diwajibkan untuk ikut menari bersama sebagai lambang kebersamaan dan keikutsertaan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain pada saat itu. si mantek guro-guro aron tidak hanya berasal dari satu desa itu saja tetapi bisa juga ikut dari desa lain. Dan biasanya memang para pemuda dan pemudi dari desa lain juga ikut serta dalam acara itu serta menampilkan beberapa hiburan demi kemeriahan acara tersebut [22]
c. Pengelompokan aron
Aron dikelompokkan menurut beru-nya masing-masing, misalnya aron beru Ginting, aron beru Karo, aronbru Peranginangin, aron beru Semiring, dan aron beru Tarigan. Si pemuda menyesuaikan tempat duduknya dengan kelompok pemudi itu, misalnya bere-bee Ginting di beru Ginting, bere-bere Karo di arob beru Karo, bere-bere Semiring di aron beru Semiring, dan bere-bere Tarigan di aron beru Tarigan. Hal ini diperuntukkan juga untuk menjaga adat Karo yakni keselarasan dan pemeliharaan dalam marga-marga serta agar marga yang sama dari budaya itu tidak bisa saling mengambil (menikah).[23]
d. Kundulen guro-guro aron
Guro-guro aron biasanya dilaksanakan di salah satu tempat di desa yang memang telah dibangun khusus untuk tempat upacara, baik pernikahan dan acara lain, disebut “jambur”. Kundulen guro-guro aron ditempatkan di depan jambur. Ini dibuat supaya pemuda dan pemudi saat beratraksi dapat disaksikan oleh segenap masyarakat yang hadir pad saat itu. selain di jambur, acara ini biasa juga dilakukan di halaman rumah atau lapangan. Tentunya harus meminta izin dulu kepada pemilik tanah.[24]

2.5 Aturan menari
Dalam praktik untuk meramaikan pembukaan guro-guro aron, ada kalanya perkolong-kolong diadu berpantun sambil bernyani. Dan kalau tidak diadakan pencak silat (ndikkar), dan setelah orang berkumpul guro-guro aron pun dimulai menurut aturan adat karo. Aturannya sebagai berikut:
Dimulai terlebih dahulu dengan gendang adat Karo. Disusul dengan tari-tarian pendiri kampung (si mantek kuta). Dilanjutkan dengan kelompok kalimbubu kuta dan akhirnya anak beru kuta. Mereka ini adalah pemilik tanah dalam desa itu sehingga dihormati dan diberikan kesempatan untuk membuka acara guro-guro aron tersebut.
a. Landek permerga-merga
Landek permerga-merga adalah sebuah aturan menari yang akan dipraktekkan dalam acara ini. Aturan itu diberikan dan diumumkan oleh penyelenggara pesata. Aturan-aturannya ialah bahwa menari harus disesuikan dengan marganya masing-masing. Biasanya urutan menari adalah sebagai berikut: menari merga Ginting, merga Karo-karo, merga Peranginangin, merga Semiring, merga Tarigan[25]
Hal ini dibuat supaya tampak jelas bahwa ada pembagian yang baik antara marga satu dengan marga lain dan  mempermudak bagi kaum muda mudi untuk mengenal pemuda atau pemudi yang bukan berasal dari kampung tersebut. Ini juga menampakkan suatu pendekatan bagi muda mudi yang ingin mengenal lebih jauh orang-orang tertentu.[26]
b. Landek aron
Landek aron adalah acara yang diperuntukkan khusus bagi kaum muda mudi yang biasanya dimulai dengan menari pengulu aron dan kemberahen aron diikuti oleh seluruh aron. Selanjutnya diatur urutan menari sesui aron beru masing-masing. Setelah semua mendapat giliran menari, acara dapat dilanjutkan dengan acara pekuta-kuteken.[27]
c. Landek pekuta-kutaken
Landek pekuta-kutaken adalah kesempatan yang diberikan kepada pemuda-pemudi untuk menari, yang bukan berasal dari kampung yang mengadakan acara guro-guro aron tersebut atau sering disebut sebagai undangan. Para undangan juga sangat dihormati dengan memberikan tempat duduk yang layak serta ditemani untuk saling berbagi selama acara berlangsung.[28]

2.4 Tepuk dan ndelihe         
            Untuk mengakhiri guro-guro aron biasanya juga diakhiri dengan acara menari menurut adat. Pada acara penutup ini segenap peserta yang ikut serta dalam acara ini wajib menari termasuk para pemusik (si erjabaten). Demikianlah sepintas pelaksanaan guro-guro aron menurut adat Karo, yang pada saat ini masih berjalan.[29]

2.5 Perbandingan antara Guro-guro aron zaman dulu dengan sekarang
            Seiring perkembangan zaman acara guro-guro aron juga ikut ber-evolusi di dalamnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dunia sekarang sangat berpengaruh bagi budaya Indonesia termasuk budaya Batak Karo salah satunya mengenai acara guro-guro aron ini. Pada zaman dahulu, guro guro aron inimasih menggunakan alat-alat tradisional saja. Alat-alat tradisional itu ialah alat alat yang dihasilkan langsung oleh masyarakat Karo, seperti: sarune, gendang, gung, dan penganak. Akan tetapi dewasa ini guro-guro aron telah menggunakan keyboard, dan cukup hanya dengan keyboard walaupun sebagian kecil masih menggunakan alat-alat tradisional. Dapat dikatakan bahwa alat-alat tradisional yang dihasilkan oleh masyarakat Karo kalah  populer dibandingkan hasil buatan industri dan teknologi canggih sekarang ini.
      Kendati musik atau alat-alat tradisional telah dikalahkan oleh alat-alat canggih sekarang ini, tetapi nilai dan makna yang ada di dalam acara guro-guro aron itu tetap dipertahankan dan sedapat mungkin ditampakkkan saat acara guro-guro aron itu berlangsung. Selain itu perubahan busanajuga tentu ada, dulu masih menggunakan pakaian yang sederhana tanpa banyak aksessoris di pakaian perempuan maupun laki-laki sedangkan pada zaman ini aksessoris pada pakaian perempuan dan laki-laki sangat banyak. Ini tentu untuk memperindah pakaian orang-orang yang memakai busana tersebut. Namun hal ini bukanlah suatu halangan atau kejelekan dalam acara itu sendiri melainkan suatu pembaharuan dan keragaman yang dapat diterima bagi budaya Karo.

2.6 Makna dan nilai yang terkandung dalam acara guro-guro aron
a. Latihan kepemimpinan
            Maksudnya ialah bahwa dalam guro-guro aron muda mudi dilatih memimpin, mengatur, dan mengurus pesta tersebut. Untuk itu ada yang bertugas sebagai pengulu aron,bapa aron, dan nande aron. Dengan adanya acara guro-guro aron ini, para pemuda pemudi diharapkan untuk menjadi pemimpin kelak dan dapat membangkitkan eksistensi masyarakat Karo terkhusus melindungi dan menjada budaya mereka agar tetap dapat hidup dan berkembang dengan baik. Itu jugalah yang diharapkan oleh masyarakat Karo.[30] 
 
b. Belajar adat Karo
            Dalam melaksanakan acara guro-guro aron ini, muda-mudi juga belajar tentang adat Karo. Misalnya bagaimana cara ertutur, mana yang boleh teman menari dan mana yang tidak, mana yang boleh menurut adat atau mana yang tidak boleh dilakukan. Belajar memahami budaya sendiri adalah awal memahami budaya orang lain. Jika kita telah mengetahui budaya kita tentu apa yang ditanyakan oleh orang lain kepada kita mengenai budaya kita dapat kita jawab dengan baik.[31]
c. Sebagai Hiburan
            Guro-guro aron juga berfungsi sebagai sarana hiburan bagi peserta dan penduduk setempat, bahkan warga dari desa lain juga terkadang datang untuk menyaksikan acara ini. Kemeriahan dan kegembiraan sangat diperlihatkan di  acara ini sehingga orang betah menyaksikan setiap atraksi yang ditampilkan oleh muda-mudi sampai selesai.[32]
d. Metik (tata rias)
            Dengan diselenggarakannya guro-guro aron, maka muda-mudi yakni anak perana dan singuda-nguda belajar tata ria gunamempercantik dirinya. Mereka belajar membuat tudung dan bulang-bulang dan lain sebagainya.[33]
e. Belajar etika
Guro-guro aron menjadi sarana belajar etika bagi muda mudi. Bagaimana cara menyapa dan berbicara supaya suasana menjadi suasana kekeluargaan, bagaimana saling menghargai dan memelihara saru dengan yang lain. Kebersmaan dan cinta kasih juga tercermin dari bagaimana mereka saling menyapa dan bergaul antara satu dengan yang lai. Selain itu saling tolong menolong juga tercermin dari setiap orang yang telah paham akan pentingnya orang lain demi perkembangan kehidupan selanjutnya.[34] 
f. Arena cari jodoh
            Guro-guro aron juga dimaksudkan sebagai arena cari jodoh bagi anak perana dan singuda-nguda. Oleh karena itu adakalanya pelaksaannya didorong oleh orang-orang tua, mengingat banyak perawan dan lajang tua di kampung itu. Maka diharapkan juga bagi muda-mudi untuk mengenal lebih jauh antara satu dengan yang lain.[35]




Bibliografi


Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan, 1981.
Tarigan, Sarjani. Lentera Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya.Medan:[tanpa penerbit],  [tanpa tahun].
Sitepu, Sempa -Bujur Sitepu-A.G. Sitepu. Pilar Budaya Karo. Medan:  BALI Scan, 1996.
            Prinst, Darwan. Adat Karo. Medan: Bina Media Perintis, 2004.
            Prinst, Darwin. Adat Karo. Medan: Kongres Kebudayaan Karo, 1996.



[1]   Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Jambatan, 1981), hlm. 94.
[2] Sarjani Tarigan, Lentera Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya (Medan:[tanpa penerbit],  [tanpa tahun]), hlm.38-39.
[3]   Sempa Sitepu-Bujur Sitepu-A.G. Sitepu, Pilar Budaya Karo ( Medan:  BALI Scan, 1996), hlm.7-10.

[4]  Sempa Sitepu-Bujur Sitepu-A.G. Sitepu, Pilar ...,hlm. 158.

[5] Darwan Prinst, Adat Karo (Medan: Bina Media Perintis, 2004), hlm. 2.

[6] Darwin Prinst, Adat Karo (Medan: Kongres Kebudayaan Karo, 1996), hlm. 16.

[7] Sempa Sitepu-Bujur Sitepu-A.G. Sitepu, Pilar ...,hlm. 158.
[8] Darwin Prinst, Adat Karo ..., hlm. 35.
[9] Sempa Sitepu-Bujur Sitepu-A.G. Sitepu, Pilar ...,hlm. 161.
[10] Darwin Prinst, Adat Karo ..., hlm. 38.

[11] Darwin Prinst, Adat Karo ..., hlm. 43.
[12] Darwin Prinst, Adat Karo ..., hlm. 40.
[13] Sempa Sitepu-Bujur Sitepu-A.G. Sitepu, Pilar ...,hlm.176.
[14] Sempa Sitepu-Bujur Sitepu-A.G. Sitepu, Pilar ...,hlm.177.

[15] Sarjani Tarigan, Lentera Kehidupan Orang Karo ..., hlm. 38-39.
[16] Sempa Sitepu-Bujur Sitepu-A.G. Sitepu, Pilar ...,hlm.186.

[17] Sempa Sitepu-Bujur Sitepu-A.G. Sitepu, Pilar ...,hlm. 187.
[18] Sempa Sitepu-Bujur Sitepu-A.G. Sitepu, Pilar ...,hlm187
[19] Sempa Sitepu-Bujur Sitepu-A.G. Sitepu, Pilar ...,hlm187
[20] Darwin Prinst, Adat Karo..., hlm. 281-284.

[21] Darwan Prinst, Adat Karo..., hlm. 282.
[22] Darwan Prinst, Adat Karo..., hlm. 282.
[23] Darwan Prinst, Adat Karo..., hlm. 282.

[24] Darwan Prinst, Adat Karo..., hlm. 282.
[25] Darwan Prinst, Adat Karo..., hlm. 283.
[26] Darwan Prinst, Adat Karo..., hlm. 283.

[27] Darwan Prinst, Adat Karo..., hlm. 283.
[28] Darwan Prinst, Adat Karo..., hlm. 283.
[29] Darwan Prinst, Adat Karo..., hlm. 283.

[30] Darwan Prinst, Adat Karo..., hlm. 280.
[31] Darwan Prinst, Adat Karo..., hlm. 283

[32] Darwan Prinst, Adat Karo..., hlm. 283
[33] Darwan Prinst, Adat Karo..., hlm. 283
[34] Darwan Prinst, Adat Karo..., hlm. 283
[35] Darwan Prinst, Adat Karo..., hlm. 283

Tidak ada komentar:

Posting Komentar