I. Pendahuluan
a. Letak Geografis
Suku
Karo mendiami suatu daerah yang meliputi Dataran Tinggi Karo, Langkat Hulu,
Deli Hulu, Serdang Hulu dan sebagian dari Dairi[1]. Terpisahnya wilayah masyarakat Karo disebabkan oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor internalnya ialah pertikaian atau perselisihan antara desa.
Faktor eksternalnya ialah politik devide et impera Belanda yang
memisahkan orang-orang Karo dalam sistem administrasi pemerintahan yang
berbeda. Namun perbedaan antara budaya Karo pada tempat yang berbeda adalah
perbedaan yang bersifat instrumental dan bukan perbedaan yang bersifat
fundamental.
Bentuk
dataran tinggi Kabupaten Karo menyerupai sebuah kuali yang sangat besar karena
dikelilingi oleh pegunungan dengan ketinggian 140-1400 m dpl, yang terhampar di
punggung Bukit Barisan. Kabupaten Karo memiliki beberapa gunung, di antaranya gunung Barus, Pinto, Sibayak, Simole,
Sinabung dan Sibuaten. Dari semua gunung itu Sibayak dan Sinabung merupakan
gunung yang aktif.[2]
b. Sekilas Tentang Suku Karo[3]
Suku Karo berasal dari
keturunan panglima yang bernama Karo. Ia adalah seorang pengawal Maharaja yang
sangat kaya, sakti, dan berwibawa. Pada suatu ketika sang maharaja bermaksud
untuk mencari suatu tempat yang lebih luas. Pada saat mengadakan perjalanan
menuju suatu pulau, perahu mereka terkatung-katung dan terjungkal akibat angin
kencang dan gelombang yang besar. Mereka pun menjadi pasrah karena tak ada lagi
yang bisa mereka perbuat.
Perahu yang dinaiki oleh panglima itu,
terdampar di sebuah pulau bernama Berhala. Sementara rombongan yang bersama maharaja tidak tahu entah di
mana. Akhirnya mereka menemukan tempat
yang tepat untuk menjadi tempat tinggal mereka. Nama tempat itu adalah Mulawari
yang berseberangan dengan si Capah, yang sekarang bernama Seberaya, sebab
akhirnya tempat yang di sekitarnya dinamai Sukapiring.
Dari waktu ke waktu jumlah mereka
pun bertambah banyak. Maka mereka ada yang bergeser ke tempat yang lain
seperti, ke Kutabale, Samura, Seberaya, Sukanalu, dan ke Suka. Demikianlah
setelah beratus dan beribu tahun jumlahnya semakin bertambah. Mereka menempati
wilayah si Karo sampai ke Barat, sampai dengan Aceh, ke Selatan berbatasan
dengan Tapanuli Utara, dan sampai ke Dairi, sedangkan ke arah Timur sampai
menempati sebahagian daerah Simalungun.
Dalam diri masyarakat Suku
Karo ada prinsip untuk saling menolong dan juga saling melindungi dalam
kehidupan sehari-hari. Masyarakat Karo dan orang yang
sudah menjadi orang Karo nyatanya sudah menyadari benar-benar penyelenggaraan
adat suku Karo itu sifatnya, bukan formalitas tetapi merupakan manifestasi dari
tanggungjawab. Setiap orang
Karo akan selalu berada dalam satu fungsi dari Sangkep si Telu atau Orat
si Waluh. Artinya suatu ketika ia berfungsi sebagai sukut (pemeran
utama) dan lain kali mungkin ia berperan sebagai kalimbubu atau lain
kali lagi akan menjadi anak beru dan begitulah terus menerus. Mereka tidak
terlalu rajin, dan juga tidak pemalas. Motto mereka adalah berkembang-biak
murah rejeki (ertuah banyak sangap encari). Logo hidup mereka adalah
perbanyak mata pencaharian supaya banyak hasilnya dan gunakan kesempatan dan
momen yang ada (perbelang juma maka belang manperrmanin, jemur pangendu
sangana las) [4] .
Sedangkan menurut sumber lain
etnik Karo termasuk proto melayu (Palaleo
Mongoloit) yang bercampur dengan ras Negroid
(negrito). Ras Negroid telah mendiami
Nusantara ±12.000 tahun lalu. Terjadinya percampuran orang Karo dengan ras
negroid disebut Umang seperti yang terungkap dalam legenda. Manusia Umang ini
hidup dalam goa-goa dalam lubang batu, seperti yang terdapat di Durintani, -Sembahe,
Suka Lue Deli Serdang (Batu Kemang). Perkakas mereka terbuat dari batu yang
tajam yang disebut “Sumatra Lith“. Makanan
mereka adalah kerang (Kyokkenmodinger)
yang banyak terdapat dalam radius 130 Km antara Temiang sampai Serdang[5].
c. Struktur Masyarakat Karo
1.Marga Suku Karo
Marga menurut beberapa tokoh berasal dari kata “meherga”
yang berarti berharga atau mahal. Hal ini menimbulkan suatu pandangan dalam
masyasrakat Karo bahwa orang yang memiliki marga adalah orang yang terpandang,
jelas asal-usulnya sedangkan orang yang tidak bermarga adalah orang asing.
Sudah sejak dahulu marga dan beru
dikenal dalam masyarakat Karo. Marga digunakan untuk laki-laki sedangkan untuk
perempuan digunakan beru. Marga seorang anak diturunkan oleh orang tuanya
laki-laki (garis keturunan Patrineal).
Marga itu sangat penting.
Tokoh-tokoh Karo mengemukakan alasan mengapa marga itu dibutuhkan. Memang masih
seputar pengetahuan, apakah seseorang itu orang asing atau tidak. Hal ini
diceritakan demikian: dulu jalan antar satu kampung dengan kampung lain hanya
dihubungkan dengan jalan setapak. Di kiri-kanan jalan itu masih terdapat hutan.
Penduduk kampung yang satu dengan kampung yang lain tidak saling kenal dan
tidak jarang ketika berpapasan dengan orang yang berasal dari kampung sebelah
tidak saling sapa. Salah satu jalan untuk mengadakan sosialisasi kepada sesama
adalah dengan membentuk marga. Setiap orang memakai marga tertentu, apabila
berpapasan di jalan maka antara yang satu dengan yang lain saling sapa dengan
menyebutkan marga. Misalnya, seseorang bertanya kepada yang lain, siapa kau?
Jawabnya aku Tarigan, Ginting, Sembiring dst. Orang yang menjawab dan orang
yang ditanya dapat diketahui bukanlah orang asing.
Seiring dengan
perkembangan zaman, akhirnya marga itu memiliki nilai dan manfaat yang besar.
Nilai dan manfaat yang diperoleh yakni:
- Marga membuat seorang anggota masyarakat dihargai, disegani dan dihormati.
- Sebagai tanda pengenal bagi orang Karo
- Sebagai tanda garis keturunan dalam orang Karo.
- Bagian atau unsur yang terdapat dalam pemilikan dan pewarisan pada suku Karo
- Menunjukkan posisi atas sangkaut-paut keluarga dan lingkungan secara langsung dan tidak langsung.
Pendapat para tokoh masyarakat mengenai lima marga yang ada
dalam karo ini mau mengatakan sesuai dengan jumlah jari, dan mudah diingat.
Marga induk ini memiliki sub-sub yang tertera di bawah ini[6]:
1. Karo-karo terdiri dari: Sekali,
Kemit, Samura, Sitepu, Sinuhaji, Sinuraya, Sinulingga, Bukit, Barus, Kaban,
Purba, Kacaribu, Ketaren, Sinukaban, Surbakti, Sinubulan, Gurusinga, jung,
Manik, Torong.
2. Marga Ginting terdiri dari: Suka,
Suihen, Seragih, Sinusinga, Munte, Manik, Babo, Beras, Garamata, Gurpatih,
Ajinembah, Jawak, Jadibata, Tumangger, Capah, Pase.
3. Marga Sembiring terdiri dari:
Berahmana, Meliala, Muham, Pandia, Pelawi, Depari, Colia, Tekang, Gurukinayan,
Bunuaji, Kelking, Kembaren, Keloko, Sipayung, Sinuaki, Bhusuk, Sinukapar.
4. Marga Perangin-angin terdiri dari:
Kacinambun, Bangun, Pinem, Perbesi, Sukatendel, Singarimbun, Pencawan, Keliat,
Kutabuluh, Sebayang, Ullunjandi, Benjereng, Mano, Namohaji, Uwir, Laksa,
Panggarun, Sinurat.
5. Marga Tarigan terdiri dari: Tua,
Tegur, Tambun, Tendang, Tambak, Gersang, Gerneng, Gana-gana, Purba, Pekan,
Sibero, Silangit, Janpang, Bondong.
Sub marga
mengalami pertambahan/peningkatan karena masuknya suku-suku lain ke dalam suku
Karo dan berasimilasi dengan kebudayaan, marga orang Karo.
2. Sistem kekerabatan
Karo
Sistem kekerabatan dalam masyasrakat Karo merupakan elemen
penting yang berintegerasi dengan hidup. Sistem kekerabatan ini menunjukkan
kepedulian dan rasa cinta. Masyarakat Karo dibentuk oleh sistem kekerabatan[7].
Sistem kekerabatan ini terbentuk karena ada perkawinan
antar marga yang satu dengan yang lain atau antara marga dengan sub marga dan membentuk
keluarga baru. Dalam perkawinan keluarga pihak laki-laki dinamakan “anak beru”
oleh keluarga perempuan. Sedangkan keluarga perempuan dinamakan “kalimbubu”
oleh pihak keluarga laki-laki. Faktor ini yang membuat persaudaraan dalam suku
Karo semakin meluas. Maka muncullah sistem kekerabatan yang dikenal dengan
istilah Sangkep Nggeluh atau sangkep Sitelu.[8]
a. Sangkep Nggeluh atau
Sangkep Sitelu
Sangkep nggeluh yang berarti kelengkapan hidup. Sering juga disebut sangkep sitelu artinya kelengkapan dari
tiga unsur keluarga. Sangkep nggeluh
membahas suatu rencana kerja menyangkut kegiatan dalam keluarga, apa yang
diperoleh dari masyarakat itulah yang dilaksanakan oleh anak beru sukut.
1.Sukut (sembuyak/senina)[10]
Sukut/sembuyak/senina dimaksudkan dalam sukut itu termasuk
sembuyak dan senina. Misalnya keluarga si A sebagai sukut (tuan rumah) maka
didalamnya turut sembuyak dan seninanya.
-Sembuyak
artinya saudara kandung; satu perut dalam satu ayah dan satu ibu.
-
Senina artinya saudara, karena satu nenek, dalam hal ini dari pihak ayah.
2. Kalimbubu[11]
Kalimbubu ialah pihak keluarga perempuan yang dikawini.
Dalam hal ini bila pihak kita kawin dengan seorang perempuan, maka keluarga
pihak perempuan adalah kalimbubu kita. Disebabkan ada perkawinan tersebut maka
nenek, ayah dan anak-anaknya semua telah jadi golongan kalimbubu. Dalam adat
Karo kedudukan kalimbubu sangat
dihormati, malahan disebutkan dengan istilah “Dibata teridah”, artinya Allah
yang kelihatan.
3. Anak Beru[12]
Anak beru adalah pihak keluarga laki-laki yang kawin atau
mengambil anak perempuan suatu keluarga.Contoh: keluarga A kawin dengan anak
perempuan keluarga B maka kelauarga A menjadi anak beru keluarga B. padahal
sebelumnya keluarga B telah memiliki anak beru secara berjenjang atau menurut
tingkatan.
II. Kesenian Karo Secara Umum
Seperti dalam suku-suku lain,
suku Karo pun mempunyai kesenian yang sudah ada sejak zaman dahulu. Hal ini
menjadi kebanggaan tersendiri bagi suku Karo bahwa ternyata mereka juga
mempunyai seni yang dapat diperlihatkan kepada orang lain. Banyak karya dapat
ditemui yang merupakan hasil dari karya seni
dari suku Karo dan diwariskan turun-temurun. Antaralain, pakaian,
perhiasan, alat-alat rumah tangga dan alat-alat kesenian lainnya.[13]
Antara tahun 1952 sampai tahun 1962
kesenian Karo masih dapat dikatakan tetap setabil dan cukup memadai. Masyarakat
Karo masih memperhatikan dan menjaga budayanya. Tapi, dalam perkembangan waktu,
kesenian Karo juga berubah. Terutama dalam seni musik. Dalam perkembanganya,
alat-alat musik tradisional digeser oleh alat musik elektrik. Dengan ini
dirasakan bahwa seni Karo sulit dipertahankan akibat arus globalisasi dan
perkembangan ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, kebudayaan Karo tidak akan
berhenti sampai disini saja. Meski arus zaman sudah menggeser sebagian kebudayaan
Karo yang asli, namun Seni Budaya Karo tetap ada dalam hati setiap orang Karo
yang mencintai seni Karo tersebut.[14]
2.1 Sejarah Guro-Guro Aron
Guro-guro
yang kita kenal sekarang merupakan hasil perkembangan dari aron (kerja sama di ladang orang lain). Aron ini sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian: aron tanggung yang berarti yang
pekerjaannya tidak terlalu berat dan aron
belin artinya pekerjaan yang berat seperti mencangkul ladang. Para pekerja
bekerja dari pagi-pagi samapi siang kemudian berhenti. Karena sudah merasa
letih. Supaya orang tidak merasa tidak terlalu letih, maka dimintalah sekalak singuda (seorang gadis) untuk
menari dan bernyanyi. Melihat hal ini seorang pemuda berkata: “Nari, jemaka nandangi singgem gelap,
gendang ipengadi lebe”[15]. Selanjutnya guro-guro aron mengalami perkembangan.
Kini guro-guro aron dilaksanakan
terpisah dengan aron, meskipun
namanya masih disatukan.
2.2 Sarana
Pendukung/Alat-alat yang Digunakan
Masyarakat Karo juga memepunyai
kesenian misik yang digunakan dalam beerbagai kegiatan dalah acara adat
istiadatnya. Dalam Guro.guro Aron ini
pun digunakan alat musik untuk menunjang kegiatan tersebut.
Adapun
alat-alat yang dugunakan antara lain ialah:
a. Gendang Indungna
Gendang Indungna dibuat dari pohon
nangka dengan melobangi dari pagkal sampai ke ujung gendang. Kemudian bagian
ujung dan pangkal tersebut ditutup dengan kulit hewan, biasanya orang Karo
membuat penutup gendang tersebut dari kulit napuh
(kancil). Dari bingkai pangkal ke bingkai ujung diikat dengan tali untuk mengatur
tinggi rendahnya suara. Pengikat ini biasanya juga terbuat dari kulit hewan.
Pemukul gendang tersebut digunakan kayu dari pohon jeruk. Gendang ini di pukul
pada bagian ujung gendang yang permukaanya lebih lebar.[16]
b. Gendang Anakna
Gendang Anakna sama seperti
gendang Indungna. Perbedaan dari gendang Anakna ialah, gendang ini terdiri dari
dua gendang, satu besar dan satu lebih keci. Cara memukul gendang ini yaitu
satu pemukul untuk gendang yang besar dan satu lagi untuk memukul gendang yang
kecil.[17]
c. Gung
Gung (gong) terbuat dari jenis logam
kuningan. Gung dalam alat musik Karo ada dua buah, yang besar tetap disebut
Gung dan yang lebih kecil disebut penganak. Gung ini berdiameter 75cm dan
penganak berdiameter 20cm. Gung dan penganak ini di mainkan seorang pemain
musik.[18]
d. Sarunai
Sarunai adalah alat musik tiup yang
sama seperti alat musik tiup yang ada dalam alat musik dalam suku-suku yang
kita ketahui. Sarunai ini terbuat dari pohon selantam dan diberi lobang dari
pangkal sampai ke ujunng. Kemudian sarunai ini diberi lobang untuk mengatur
nada-nada yang diinginkan. Pada ujung sarunai diletakkan daun kelapa yang
diikat pada tulang bulu ayam. Kemudian daun kelapa yng diikat pada tulang bulu
ayam tadi diletakkan pada timah-timah dan diberi pembatas dari tulang.[19]
2.3 Tata Cara Pelaksanaan
Guro-Guro Aron[20]
Guro-guro aron dilaksanakan pada hari yang telah ditetapkan
oleh penghulu aron. Penghulu aron
beserta sebahagian yang berkepentingan demi lancarnya guro-guro aron berkumpul
dalam suatu hari untuk menentukan kapan dan di mana guro-guro aron itu akan
dilaksanakan. Ketika waktu dan tempat pelaksanaan guro-guro aron itu telah
disepakati, maka akan diumumkan kepada segenap warga setempat.
a. Pengulu aron dan
Kemberahen aron
Guro-guro aron biasanya dipimpin oleh seorang pengulu aron
dan seorang kemberahen aron. Penghulu aron biasanya dipilih dari pemuda
keturunan bangsa tanah (si mantek kuta), dalam Batak Toba disebut Raja Huta,
dan Pakpak disebut Marga tanoh (simbuka kuta). Sementara kemberahen aron
dipilih dari pemudi anak kalimbubu kuta. Atau kalau hal ini tidak memungkinkan,
maka penghulu aron diangkat dari pemuda anak beru kuta dan kemberahen kuta
diangkat dari anaksi mantek kuta. Adakalanya penghulu aron dikenakan bunga
empalas, yaitu ruas buluh raga dialis sehingga kelihatan tipis dan diurai
sehingga menyerupaibunga pinang (mayang). Di samping itu dia juga membawa
sebuah tikar kecil (amak cur) sebagai
tempat duduk.[21]
b. Si mantek guro-guro aron
Dalam budaya Karo yang dimaksud si mantek guro-guro
aron adalah pemuda dan pemudi yang ikut
ambil bagian dalam acara guro-guro aron tersebut. Si mantek guro-guro aron ini
berkewajiban membayar biaya yang telah ditentukan dalam musyawarah. Dalam acara
menari, para simantek guro-guro aron ini diwajibkan untuk ikut menari bersama
sebagai lambang kebersamaan dan keikutsertaan untuk merasakan apa yang
dirasakan oleh orang lain pada saat itu. si mantek guro-guro aron tidak hanya
berasal dari satu desa itu saja tetapi bisa juga ikut dari desa lain. Dan
biasanya memang para pemuda dan pemudi dari desa lain juga ikut serta dalam
acara itu serta menampilkan beberapa hiburan demi kemeriahan acara tersebut [22]
c. Pengelompokan aron
Aron dikelompokkan menurut beru-nya masing-masing, misalnya
aron beru Ginting, aron beru Karo, aronbru Peranginangin, aron beru Semiring,
dan aron beru Tarigan. Si pemuda menyesuaikan tempat duduknya dengan kelompok
pemudi itu, misalnya bere-bee Ginting di beru Ginting, bere-bere Karo di arob
beru Karo, bere-bere Semiring di aron beru Semiring, dan bere-bere Tarigan di
aron beru Tarigan. Hal ini diperuntukkan juga untuk menjaga adat Karo yakni
keselarasan dan pemeliharaan dalam marga-marga serta agar marga yang sama dari
budaya itu tidak bisa saling mengambil (menikah).[23]
d. Kundulen guro-guro aron
Guro-guro aron biasanya dilaksanakan di
salah satu tempat di desa yang memang telah dibangun khusus untuk tempat
upacara, baik pernikahan dan acara lain, disebut “jambur”. Kundulen guro-guro
aron ditempatkan di depan jambur. Ini dibuat supaya pemuda dan pemudi saat
beratraksi dapat disaksikan oleh segenap masyarakat yang hadir pad saat itu.
selain di jambur, acara ini biasa juga dilakukan di halaman rumah atau
lapangan. Tentunya harus meminta izin dulu kepada pemilik tanah.[24]
2.5 Aturan menari
Dalam praktik untuk meramaikan pembukaan guro-guro aron,
ada kalanya perkolong-kolong diadu berpantun sambil bernyani. Dan kalau tidak
diadakan pencak silat (ndikkar), dan setelah orang berkumpul guro-guro aron pun
dimulai menurut aturan adat karo. Aturannya sebagai berikut:
Dimulai terlebih dahulu dengan gendang adat Karo. Disusul dengan
tari-tarian pendiri kampung (si mantek kuta). Dilanjutkan dengan kelompok
kalimbubu kuta dan akhirnya anak beru kuta. Mereka ini adalah pemilik tanah
dalam desa itu sehingga dihormati dan diberikan kesempatan untuk membuka acara
guro-guro aron tersebut.
a. Landek permerga-merga
Landek permerga-merga adalah sebuah aturan menari yang akan
dipraktekkan dalam acara ini. Aturan itu diberikan dan diumumkan oleh
penyelenggara pesata. Aturan-aturannya ialah bahwa menari harus disesuikan
dengan marganya masing-masing. Biasanya urutan menari adalah sebagai berikut:
menari merga Ginting, merga Karo-karo, merga Peranginangin, merga Semiring,
merga Tarigan[25]
Hal ini dibuat supaya tampak jelas bahwa ada pembagian yang
baik antara marga satu dengan marga lain dan
mempermudak bagi kaum muda mudi untuk mengenal pemuda atau pemudi yang
bukan berasal dari kampung tersebut. Ini juga menampakkan suatu pendekatan bagi
muda mudi yang ingin mengenal lebih jauh orang-orang tertentu.[26]
b. Landek aron
Landek aron adalah acara yang diperuntukkan khusus bagi
kaum muda mudi yang biasanya dimulai dengan menari pengulu aron dan kemberahen
aron diikuti oleh seluruh aron. Selanjutnya diatur urutan menari sesui aron beru
masing-masing. Setelah semua mendapat giliran menari, acara dapat dilanjutkan
dengan acara pekuta-kuteken.[27]
c. Landek pekuta-kutaken
Landek pekuta-kutaken adalah kesempatan yang diberikan
kepada pemuda-pemudi untuk menari, yang bukan berasal dari kampung yang
mengadakan acara guro-guro aron tersebut atau sering disebut sebagai undangan.
Para undangan juga sangat dihormati dengan memberikan tempat duduk yang layak
serta ditemani untuk saling berbagi selama acara berlangsung.[28]
2.4 Tepuk dan ndelihe
Untuk mengakhiri
guro-guro aron biasanya juga diakhiri dengan acara menari menurut adat. Pada
acara penutup ini segenap peserta yang ikut serta dalam acara ini wajib menari
termasuk para pemusik (si erjabaten). Demikianlah sepintas pelaksanaan
guro-guro aron menurut adat Karo, yang pada saat ini masih berjalan.[29]
2.5 Perbandingan antara
Guro-guro aron zaman dulu dengan sekarang
Seiring perkembangan
zaman acara guro-guro aron juga ikut
ber-evolusi di dalamnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dunia sekarang sangat
berpengaruh bagi budaya Indonesia termasuk budaya Batak Karo salah satunya
mengenai acara guro-guro aron ini.
Pada zaman dahulu, guro guro aron
inimasih menggunakan alat-alat tradisional saja. Alat-alat tradisional itu
ialah alat alat yang dihasilkan langsung oleh masyarakat Karo, seperti: sarune,
gendang, gung, dan penganak. Akan tetapi dewasa ini guro-guro aron telah menggunakan keyboard, dan cukup hanya dengan
keyboard walaupun sebagian kecil masih menggunakan alat-alat tradisional. Dapat
dikatakan bahwa alat-alat tradisional yang dihasilkan oleh masyarakat Karo
kalah populer dibandingkan hasil buatan
industri dan teknologi canggih sekarang ini.
Kendati musik atau alat-alat
tradisional telah dikalahkan oleh alat-alat canggih sekarang ini, tetapi nilai
dan makna yang ada di dalam acara guro-guro
aron itu tetap dipertahankan dan sedapat mungkin ditampakkkan saat acara
guro-guro aron itu berlangsung. Selain itu perubahan busanajuga tentu ada, dulu
masih menggunakan pakaian yang sederhana tanpa banyak aksessoris di pakaian
perempuan maupun laki-laki sedangkan pada zaman ini aksessoris pada pakaian
perempuan dan laki-laki sangat banyak. Ini tentu untuk memperindah pakaian
orang-orang yang memakai busana tersebut. Namun hal ini bukanlah suatu halangan
atau kejelekan dalam acara itu sendiri melainkan suatu pembaharuan dan
keragaman yang dapat diterima bagi budaya Karo.
2.6 Makna dan nilai yang
terkandung dalam acara guro-guro aron
a. Latihan kepemimpinan
Maksudnya ialah bahwa
dalam guro-guro aron muda mudi dilatih memimpin, mengatur, dan mengurus pesta
tersebut. Untuk itu ada yang bertugas sebagai pengulu aron,bapa aron, dan nande
aron. Dengan adanya acara guro-guro aron ini, para pemuda pemudi diharapkan
untuk menjadi pemimpin kelak dan dapat membangkitkan eksistensi masyarakat Karo
terkhusus melindungi dan menjada budaya mereka agar tetap dapat hidup dan
berkembang dengan baik. Itu jugalah yang diharapkan oleh masyarakat Karo.[30]
b. Belajar adat Karo
Dalam melaksanakan
acara guro-guro aron ini, muda-mudi juga belajar tentang adat Karo. Misalnya
bagaimana cara ertutur, mana yang boleh teman menari dan mana yang tidak, mana
yang boleh menurut adat atau mana yang tidak boleh dilakukan. Belajar memahami
budaya sendiri adalah awal memahami budaya orang lain. Jika kita telah
mengetahui budaya kita tentu apa yang ditanyakan oleh orang lain kepada kita
mengenai budaya kita dapat kita jawab dengan baik.[31]
c. Sebagai Hiburan
Guro-guro aron juga
berfungsi sebagai sarana hiburan bagi peserta dan penduduk setempat, bahkan
warga dari desa lain juga terkadang datang untuk menyaksikan acara ini.
Kemeriahan dan kegembiraan sangat diperlihatkan di acara ini sehingga orang betah menyaksikan
setiap atraksi yang ditampilkan oleh muda-mudi sampai selesai.[32]
d. Metik (tata rias)
Dengan
diselenggarakannya guro-guro aron, maka muda-mudi yakni anak perana dan
singuda-nguda belajar tata ria gunamempercantik dirinya. Mereka belajar membuat
tudung dan bulang-bulang dan lain sebagainya.[33]
e. Belajar etika
Guro-guro aron menjadi sarana belajar etika bagi muda mudi.
Bagaimana cara menyapa dan berbicara supaya suasana menjadi suasana
kekeluargaan, bagaimana saling menghargai dan memelihara saru dengan yang lain.
Kebersmaan dan cinta kasih juga tercermin dari bagaimana mereka saling menyapa
dan bergaul antara satu dengan yang lai. Selain itu saling tolong menolong juga
tercermin dari setiap orang yang telah paham akan pentingnya orang lain demi
perkembangan kehidupan selanjutnya.[34]
f. Arena cari jodoh
Guro-guro aron juga
dimaksudkan sebagai arena cari jodoh bagi anak perana dan singuda-nguda. Oleh
karena itu adakalanya pelaksaannya didorong oleh orang-orang tua, mengingat
banyak perawan dan lajang tua di kampung itu. Maka diharapkan juga bagi
muda-mudi untuk mengenal lebih jauh antara satu dengan yang lain.[35]
Bibliografi
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan, 1981.
Tarigan, Sarjani. Lentera Kehidupan
Orang Karo dalam Berbudaya.Medan:[tanpa penerbit], [tanpa tahun].
Sitepu, Sempa -Bujur Sitepu-A.G. Sitepu.
Pilar Budaya Karo. Medan: BALI Scan, 1996.
Prinst, Darwan. Adat Karo. Medan: Bina Media Perintis, 2004.
Prinst, Darwin. Adat Karo. Medan: Kongres Kebudayaan Karo, 1996.
[1] Koentjaraningrat,
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia
(Jakarta: Jambatan, 1981), hlm. 94.
[2] Sarjani Tarigan, Lentera
Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya (Medan:[tanpa penerbit], [tanpa tahun]), hlm.38-39.
[4] Sempa Sitepu-Bujur Sitepu-A.G. Sitepu, Pilar
...,hlm. 158.
[5] Darwan
Prinst, Adat Karo (Medan: Bina Media
Perintis, 2004), hlm. 2.
[6] Darwin
Prinst, Adat Karo (Medan: Kongres
Kebudayaan Karo, 1996), hlm. 16.
[7] Sempa
Sitepu-Bujur Sitepu-A.G. Sitepu, Pilar ...,hlm. 158.
[11] Darwin
Prinst, Adat Karo ..., hlm. 43.
[15] Sarjani
Tarigan, Lentera Kehidupan Orang Karo ..., hlm. 38-39.
[17] Sempa
Sitepu-Bujur Sitepu-A.G. Sitepu, Pilar ...,hlm. 187.
[21] Darwan
Prinst, Adat Karo..., hlm. 282.
[24] Darwan
Prinst, Adat Karo..., hlm. 282.
[27] Darwan
Prinst, Adat Karo..., hlm. 283.
[30] Darwan
Prinst, Adat Karo..., hlm. 280.
[32] Darwan
Prinst, Adat Karo..., hlm. 283
Tidak ada komentar:
Posting Komentar