1. Pengantar
Kodrat manusia sebagai mahluk berhayat
diantaranya adalah berpikir dan ingin tahu segala sesuatu. Manusia selalu ingin
tahu tentang segala sesuatu yang menyangkut hidupnya. Karena itu, manusia
selalu mencari dan mempertanyakan identitasnya sebagai manusia di antara
mahluk-mahluk lain. Dari manakah ia datang dan hendak ke mana tujuan hidupnya
kelak? Hal tersebut merupakan sebagian kecil dari rasa ingin tahu manusia. Dia
ingin lebih dari itu dapat ia ketahui, khususnya darimana dan siapa yang
menjadikan dia.[1]
Dalam relasi dengan alam dan
sesamanya, manusia dalam perjalanan hidup merasa ada yang unik di luar dirinya.
Manusia berkat naluri manusiawinya, sadar bahwa selain dia masih ada yang lain
dan unik di luar dirinya. Ada yang tidak tampak dan tidak dapat dirasakan
dengan alat-alat indrawi manusia yang melebihi manusia dan mahluk yang lain.
Hal itu “unik” dan disadari memiliki kekuatan yang “adikodrati” yang melebihi
kekuatan manusia sendiri. Untuk itulah manusia hendak mencari dan menyingkapkan
siapa dan apa sebenarnya dibalik yang “unik” itu.[2]
Setelah manusia menyadari bahwa yang
“adikodrati” itu sungguh berpengaruh dalam hidup manusia, maka dengan rasio,
manusia ingin mengenal dan menyingkapkan sosok “adikodrati” itu dengan
sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan.[3]
Penyingkapan
terhadap yang unik dan adikodrati ini sudah dimulai oleh manusia berabad-abad
yang lalu. Salah satu tokoh yang menyatakan pemikiran dan pandangannya tentang
yang adikodrati itu atau sering dipahami dengan “Tuhan” adalah Anselmus dari Canterbury.
Dia memaparkan pandangannya tentang siapa itu Tuhan (Allah) dalam hidup manusia
dan bagaimana manusia dapat mengerti tentang Dia. Dalam karyanya Anselmus
memaparkan alur pemikirannya atau pahamnya mengenai Allah dan bagaimana manusia
dapat mengerti tentang Allah dan cara berada-Nya.
2.
Riwayat Hidup Singkat
Anselmus lahir di Aosta, Piemont,
Italia sekitar tahun 1033. Ia anak dari pasangan Gondolvo dan Ermenberga.
Ayahnya seorang politikus dan bangsawan Lombardia, sedangkan ibunya adalah
seorang Bugundia yang kaya raya. Pada waktu ia berumur 27 tahun, Anselmus
masuk biara Benediktin di Bec, Normandia dekat Rouen, Prancis. Berkat
kegemilangan intelektualnya, Anselmus kemudian diangkat menjadi pemimpin biara
di Bec menggantikan Lanfranc. Pada tahun 1093, Anselmus diangkat menjadi Askup
Agung Canterbury oleh Raja William II.[4]
Karya penting Anselmus dalam bidang
teologi dan inti ajarannya dalam hubungan ratio dan iman, dikenal dengan
istilah “Credo ut intelligam” dan beberapa karyanya yang lain adalah “Cur
Deus Homo”(mengapa Allah menjadi manusia), Monologion, dan Proslogion.[5]
Dalam karangan-karangannya ia yakin
bahwa iman bisa menghantar manusia kepada pengertian atau paham “Fides
Quaerens Intellectum”(iman berusaha untuk mengerti). Anselmus dalam pembuktiannya
tersebut selalu mengawalinya dari ajaran iman. Dia juga melukiskan ajarannya yang sangat tajam
mengenai pembuktian akan adanya eksistensi Allah. Menurutnya Allah sebagai
sesuatu yang lebih besar, selain daripada-Nya
tidak ada yang dapat dipikirkan sebagai yang paling besar (aliquid
quo maius nihil cogitari potest). Dengan itu ia berhasil mengajak orang
untuk membuktikan imannya dengan rasio. Ia mengakhiri karyanya saat berumur 75
tahun pada 21 April 1109. [6]
3. Bukti
Eksistensi Allah Menurut Anselmus
Anselmus
mengemukakan argumen tentang ekisistensi Allah dalam karyanya yang dikenal
dengan Proslogium. Keberadaan Allah
diketahui dan dibuktikan dari ide tentang Allah itu sendiri. Berdasarkan
refleksi-rasionalnya, Anselmus sampai kepada kebenaran iman yang sebelumnya
sudah dipercayai, bahwa dengan rasio, Kebenaran sebagai sesuatu yang Mutlak, ada
dan dapat dibuktikan. Sesuatu yang “ada” ini melampaui “adaan” lainnya, itulah
Allah. Hal ini dapat dipikirkan serta dibuktikan oleh akal sehat. Menurut Anselmus
manusia memiliki 2 sumber pengetahuan, yaitu
Iman dan akal budi.[7]
Iman menjadi dasar
dalam mencari kebenaran. Dalam Proslogium,
Anselmus mengungkapkan bahwa berkat imannya ia dapat sampai kepada pengertian
akan kebenaran. Menurut Anselmus kita harus percaya terlebih dahulu untuk dapat
memperoleh pengertian.[8] Iman
adalah titik pangkal spekulasi Anselmus, sebagaimana juga pada Agustinus. “Jika
kamu tidak percaya, kamu tidak akan memahaminya”; Anselmus menggarisbawahi
perlunya iman. Tetapi itu tidak mengahalangi bahwa, iman yang demikian berusaha
mencari pengetahuan, sehigga pada akhirnya dia memahami apa yang semula
dipercayai. Di sini yang mau dipahaminya adalah eksistensi dan kodrat Allah.[9]
Bagi
Anselmus melalui perpaduan iman dan pengetahuan dapat disimpulkan paham sebagai berikut: Fides Quarens Intelectum
(Iman yang mencari Pengertian). Berdasarkan iman orang sampai pada pengetahuan dan
pengertian. Diawal karyanya, Proslogium,
ada doa yang diungkapkan Anselmus yang mau menyatakan bahwa dengan percayalah
manusia dapat memahami Allah, bukan memahami terlebih dahulu baru manusia
percaya. Karena manusia tidak akan sanggup memahami Allah tanpa percaya atau tanpa
iman.[10].
Maka,
perlu iman, sebab dalam iman kita dibimbing dan diajari untuk sampai kepada
kebenaran. Anselmus yakin bahwa Allah yang menganugrahkan pengetahuan kepada
imannya. Karena itu iman akan membawa kita kepada pemahaman bahwa sesuatu yang
diimani itu sungguh ada. Dalam doanya dia berkata, “oleh karena itu, ya Tuhan,
Engkau memberi pengetahuan kepada iman, perkenankanlah aku memahami, sejauh itu
Kamu anggap baik, bahwa Engkau ada, seperti kami percayai, dan bahwa Engkau
sedemikian seperti yang kami percayai itu.[11]
3.1. Nama Allah
Dalam
pembuktiannya, Anselmus
membahas juga mengenai nama “Allah”. Anselmus mengatakan bahwa “Allah ada” dan
kehadiran-Nya tidak dapat dipikirkan. Mengenai nama Allah lebih jelas diungkapkannya
setelah memulai doanya yang amat kusuk. Anselmus memberi nama dengan
menyebutkan; “ Aliquid quo nihil malus cogitari possit”(sesuatu yang
dari pada-Nya tidak dapat dipikirkan atau dibayangkan sesuatu yang lebih besar
lagi). Jika kita menyebut nama Allah, maka kita sedang membicarakan sesuatu
yang paling besar dan tidak ada yang lebih
besar lagi dari padanya. Maka kebesaran-Nya tidak dapat dibayangkan dan
dipikirkan lagi. Karena tidak ada apapun
yang lebih besar dan agung lagi dari Dia sendiri. [12]
3.2. Allah dapat Dipahami
Banyak
filsuf dan termasuk orang Kristen mencoba mengerti dan memahami secara rasional
segala sesuatu diluar yang nyata sekalipun, sejauh hal itu masuk akal bagi pemikiran manusia. Anselmus
bukan orang yang melulu irrasional karena ia selalu berusaha dan mencoba
memahami dan membuktikan isi imannya. Anselmus memulai pembuktiannya dengan
bertitik tolak dari imannya akan Allah. Menurutnya, jika orang mau memahami
imannya, maka ia akan sampai pada pemikiran rasional.[13]
Paham
dan pengetahuan mengenai adanya Allah berawal dari iman. Imanlah yang pertama-tama
menggerakkan hati kita untuk menyelidiki keberadaan-Nya. Setelah hati tergerak,
maka akal budi akan berusaha untuk memahami-Nya dengan jalan refleksi. Kemudian
rasio berusaha mengangkat kesadaran akan Allah yang masih bersifat afeksi itu
sampai kepada tahap pengertian.[14]
Kenyataan
bahwa Allah dapat kita pahami dalam akal budi. Allah dapat kita pikirkan
sebagai sesuatu yang tertinggi. Pemahaman akan adanya yang tertinggi sebagai
“ada” tidak lepas dari pemikiran kita akan hal itu dalam akal budi. Sesuatu dikatakan
kalau dia dapat dibayangkan, dipikirkan dan dipahami dalam akal budi sipemikir.[15]
4. Kritik atas Paham Anselmus dari Canterbury
4.1.Gaunilon
Gaunilon adalah seorang rahib dari Marmoutier dekat
Tours. Dia adalah filsuf yang hidup sejaman dengan Anselmus. Gaunilon sungguh
tidak setuju dan tidak membenarkan paham yang diajukan oleh Anselmus mengenai
eksistensi Allah. Kritikan Gaunilon atas hal itu ditemukan dalam buku Liber
Pro Insipiente dan sebuah pamphlet yang ia tulis.
Gaunilon mengemukakan dua keberatannya. Pertama ia menyanggah kehadiran Yang
Maha Tinggi yang dapat dipikirkan itu di dalam akal. Kedua, menyangkal penyimpulan eksistensi real Allah diluar
pikiran dari eksistensi Allah di dalam akal. Keberatan pertama dilontarkan oleh
Gaunilon karena dia melihat bahwa kita tidak memiliki ide yang pasti tentang
Allah..[16]
4.2. Thomas Aquinas
Thomas Aquinas
sebagai teolog dan filsuf menolak paham
Anselmus sebagai bukti Filosofis. Paham Anselmus dipandang dapat membahayakan
ajaran Gereja. Bagi Thomas, sesuatu yang terdapat dalam pikiran tidak pernah
dapat disimpulkan bahwa hal itu harus ada dalam kenyataan.[17]
Menurut Thomas defenisi nominal Allah bukanlah “Yang
tertinggi yang dapat dipikirkan”, melainkan Causa prima (penyebab
utama). Allah dilihat sebagai yang Mahakuasa (defenisi religius). Dalam hal ini
Thomas mulai memperlihatkan garis perbedaan antara filsafat dan teologi.[18]
5. Penutup
Anselmus adalah seorang yang selalu berusaha untuk
mencari kepastian dan membela imannya. Karena itu ia berusaha untuk membuktikan eksistensi Allah secara pasti dan
benar. Namun tidak diragukan juga dia adalah seorang filsuf yang teguh dan
setia pada imannya. Anselmus tidak memberi sumbangan baru atau paham baru
mengenai inti iman agamanya. Namun, dalam karya dan pahamnya tentang “Cur
Deus Homo “ (mengapa Allah
menjadi manusia), orang menjadi mengerti dan sadar akan imannya sendiri.[19]
Perdebatan mengenai paham Anselmus mengenai
Eksistensi Allah masih selalu diperdebatkan oleh para Filsuf. Paham Anselmus
tentang Eksistensi Allah ingin dihapus karena dianggap tidak filosofis. Namun
ada juga orang yang setia membela dan melihat kebenaran didalamnya. Dengan
bantuan Anselmus semuanya itu bermanfaat bagi kita untuk mengambil sikap yang
tepat mengenai Allah. Hal ini tercantum dalam Proslogium. Proslogium
Anselmus mengatakan bahwa Allah adalah “sesuatu yang daripada-Nya tidak dapat
dibayangkan sesuatu yang lebih besar lagi” (aliquid quo nihil maius cogitari
possit).[20]
Anselmus juga berhasil memberi sumbangan baru terhadap
kemampuan akal budi yang beperan dalam menyingkapkan eksistensi Allah. Anselmus
juga banyak memberikan sumbangan positif terhadap ilmu pengetahuan. Dalam ilmu
pengetahuan ia berhasil mempersatukan iman dan rasio, teologi dan filsafat.
Baginya iman adalah dasar untuk memperoleh pengertian. Berkat iman kita dapat
mengerti dan memahami apa yang diimani itu. Dengan demikian jelaslah bahwa
Anselmus tidak hanya menaruh perhatian pada imannya saja, tetapi juga berjasa
dalam mengembangkan pengetahuan pada umumnya.[21]
Hal
yang sangat kita kagumi dari Anselmus adalah bahwa dia tetap sebagai pembela
iman dan Gereja yang benar. Argumen yang rasional tidak berakibat negative
terhadap imannya. Karena itu sangat sulit bagi kita jika argument Anselmus ini
kita pertimbangkan tanpa konteks iman yang mencari pengertian.[22]
Daftar
Kepustakaan
:
St. Anselm’s. Proslogion. Penerjemah:
Charlesworth, M.J. London: University of Notre Dame, 1979.
Barth, Karl. Anselm’s Proof of the Existence of God
in the Context of his Theological
Scheme: Roberstston, ian W. London: SCM. Press Ltd, 1960.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1.
Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Hamersma, Harry. Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius, 1981.
Huijbers, Theo. Manusia Mencari Allah: Suatu
Filsafat Ketuhanan. Yogyakarta: Kanisius, 1985.
Leahy, Louis. Filsafat Ketuhanan Kontemporer.
Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Snijders, Adelbert, Manusia
Paradoks dan Seruan.Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Tjahjadi L. Simon Petrus. Petualangan Intelektual.
Yogyakarta: Kanisius, 2009.
[1] Adelbert Snijders, Manusia
Paradoks dan Seruan, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 13-14. bdk. Frans
Magnis –Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 17.
[3] Theo Huijbers, Manusia
Mencari Allah Suatu Filsafat Ketuhanan, (Yogyakarta: Kanisius, 1977), hlm. 13-14.
[5] Harun Adiwijono, Sari
Sejarah Filsafat ...,hlm. 94.
[6] Simon Petrus L. Tjahjadi, Pertualangan
Intelektual, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 124.
[7] St. Anselmus, Proslogium,
London: University of Notre Dame, 1979 hlm. 115.
[8] St. Anselmus, Proslogium...,
hlm. 115.
[9] Louis Kaly, Filsafat
Ketuhanan Kontemporer, Kanisius, Yogyakarta 1993, hlm. 135.
[14] Nico Syukur Dister, Filsafat
Agama Kristiani, Yogyakarta: kanisius, 1985. Hlm. 171.
[15] St. Anselmus, Proslogium...,
hlm. 117.
[17] Leahy, Louis, Filsafat
Ketuhanan Kontemporer ( Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm.56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar