Sabtu, 26 Mei 2012

FILSAFAT MODERN: BUKTI EKSISTENSI ALLAH MENURUT ANSELMUS CANTERBURY (Oleh: Jani Anwar)



1. Pengantar 
          Kodrat manusia sebagai mahluk berhayat diantaranya adalah berpikir dan ingin tahu segala sesuatu. Manusia selalu ingin tahu tentang segala sesuatu yang menyangkut hidupnya. Karena itu, manusia selalu mencari dan mempertanyakan identitasnya sebagai manusia di antara mahluk-mahluk lain. Dari manakah ia datang dan hendak ke mana tujuan hidupnya kelak? Hal tersebut merupakan sebagian kecil dari rasa ingin tahu manusia. Dia ingin lebih dari itu dapat ia ketahui, khususnya darimana dan siapa yang menjadikan dia.[1]
          Dalam relasi dengan alam dan sesamanya, manusia dalam perjalanan hidup merasa ada yang unik di luar dirinya. Manusia berkat naluri manusiawinya, sadar bahwa selain dia masih ada yang lain dan unik di luar dirinya. Ada yang tidak tampak dan tidak dapat dirasakan dengan alat-alat indrawi manusia yang melebihi manusia dan mahluk yang lain. Hal itu “unik” dan disadari memiliki kekuatan yang “adikodrati” yang melebihi kekuatan manusia sendiri. Untuk itulah manusia hendak mencari dan menyingkapkan siapa dan apa sebenarnya dibalik yang “unik” itu.[2]
           Setelah manusia menyadari bahwa yang “adikodrati” itu sungguh berpengaruh dalam hidup manusia, maka dengan rasio, manusia ingin mengenal dan menyingkapkan sosok “adikodrati” itu dengan sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan.[3]
            Penyingkapan terhadap yang unik dan adikodrati ini sudah dimulai oleh manusia berabad-abad yang lalu. Salah satu tokoh yang menyatakan pemikiran dan pandangannya tentang yang adikodrati itu atau sering dipahami dengan “Tuhan” adalah Anselmus dari Canterbury. Dia memaparkan pandangannya tentang siapa itu Tuhan (Allah) dalam hidup manusia dan bagaimana manusia dapat mengerti tentang Dia. Dalam karyanya Anselmus memaparkan alur pemikirannya atau pahamnya mengenai Allah dan bagaimana manusia dapat mengerti tentang Allah dan cara berada-Nya.

2. Riwayat Hidup Singkat
          Anselmus lahir di Aosta, Piemont, Italia sekitar tahun 1033. Ia anak dari pasangan Gondolvo dan Ermenberga. Ayahnya seorang politikus dan bangsawan Lombardia, sedangkan ibunya adalah seorang Bugundia yang kaya raya. Pada waktu ia berumur 27 tahun, Anselmus masuk biara Benediktin di Bec, Normandia dekat Rouen, Prancis. Berkat kegemilangan intelektualnya, Anselmus kemudian diangkat menjadi pemimpin biara di Bec menggantikan Lanfranc. Pada tahun 1093, Anselmus diangkat menjadi Askup Agung Canterbury oleh Raja William II.[4]
          Karya penting Anselmus dalam bidang teologi dan inti ajarannya dalam hubungan ratio dan iman, dikenal dengan istilah “Credo ut intelligam” dan beberapa karyanya yang lain adalah “Cur Deus Homo”(mengapa Allah menjadi manusia),  Monologion, dan  Proslogion.[5] 
          Dalam karangan-karangannya ia yakin bahwa iman bisa menghantar manusia kepada pengertian atau paham “Fides Quaerens Intellectum”(iman berusaha untuk mengerti). Anselmus dalam pembuktiannya tersebut selalu mengawalinya dari ajaran iman. Dia  juga melukiskan ajarannya yang sangat tajam mengenai pembuktian akan adanya eksistensi Allah. Menurutnya Allah sebagai sesuatu yang lebih besar, selain daripada-Nya  tidak ada yang dapat dipikirkan sebagai yang paling besar (aliquid quo maius nihil cogitari potest). Dengan itu ia berhasil mengajak orang untuk membuktikan imannya dengan rasio. Ia mengakhiri karyanya saat berumur 75 tahun  pada 21 April 1109. [6]  

3. Bukti  Eksistensi Allah Menurut Anselmus
            Anselmus mengemukakan argumen tentang ekisistensi Allah dalam karyanya yang dikenal dengan Proslogium. Keberadaan Allah diketahui dan dibuktikan dari ide tentang Allah itu sendiri. Berdasarkan refleksi-rasionalnya, Anselmus sampai kepada kebenaran iman yang sebelumnya sudah dipercayai, bahwa dengan rasio, Kebenaran sebagai sesuatu yang Mutlak, ada dan dapat dibuktikan. Sesuatu yang “ada” ini melampaui “adaan” lainnya, itulah Allah. Hal ini dapat dipikirkan serta dibuktikan oleh akal sehat. Menurut Anselmus manusia  memiliki 2 sumber pengetahuan, yaitu Iman dan akal budi.[7]
Iman menjadi dasar dalam mencari kebenaran. Dalam Proslogium, Anselmus mengungkapkan bahwa berkat imannya ia dapat sampai kepada pengertian akan kebenaran. Menurut Anselmus kita harus percaya terlebih dahulu untuk dapat memperoleh pengertian.[8] Iman adalah titik pangkal spekulasi Anselmus, sebagaimana juga pada Agustinus. “Jika kamu tidak percaya, kamu tidak akan memahaminya”; Anselmus menggarisbawahi perlunya iman. Tetapi itu tidak mengahalangi bahwa, iman yang demikian berusaha mencari pengetahuan, sehigga pada akhirnya dia memahami apa yang semula dipercayai. Di sini yang mau dipahaminya adalah eksistensi dan kodrat Allah.[9]
            Bagi Anselmus melalui perpaduan iman dan pengetahuan dapat disimpulkan paham  sebagai berikut: Fides Quarens Intelectum (Iman yang mencari Pengertian). Berdasarkan  iman orang sampai pada pengetahuan dan pengertian. Diawal karyanya, Proslogium, ada doa yang diungkapkan Anselmus yang mau menyatakan bahwa dengan percayalah manusia dapat memahami Allah, bukan memahami terlebih dahulu baru manusia percaya. Karena manusia tidak akan sanggup memahami Allah tanpa percaya atau tanpa iman.[10].
            Maka, perlu iman, sebab dalam iman kita dibimbing dan diajari untuk sampai kepada kebenaran. Anselmus yakin bahwa Allah yang menganugrahkan pengetahuan kepada imannya. Karena itu iman akan membawa kita kepada pemahaman bahwa sesuatu yang diimani itu sungguh ada. Dalam doanya dia berkata, “oleh karena itu, ya Tuhan, Engkau memberi pengetahuan kepada iman, perkenankanlah aku memahami, sejauh itu Kamu anggap baik, bahwa Engkau ada, seperti kami percayai, dan bahwa Engkau sedemikian seperti yang kami percayai itu.[11]



3.1. Nama Allah
            Dalam pembuktiannya, Anselmus membahas juga mengenai nama “Allah”. Anselmus mengatakan bahwa “Allah ada” dan kehadiran-Nya tidak dapat dipikirkan.  Mengenai nama Allah lebih jelas diungkapkannya setelah memulai doanya yang amat kusuk. Anselmus memberi nama dengan menyebutkan; “ Aliquid quo nihil malus cogitari possit”(sesuatu yang dari pada-Nya tidak dapat dipikirkan atau dibayangkan sesuatu yang lebih besar lagi). Jika kita menyebut nama Allah, maka kita sedang membicarakan sesuatu yang paling besar dan tidak ada yang lebih  besar lagi dari padanya. Maka kebesaran-Nya tidak dapat dibayangkan dan dipikirkan lagi. Karena tidak ada apapun  yang lebih besar dan agung lagi dari Dia sendiri. [12]
           
3.2. Allah dapat Dipahami
            Banyak filsuf dan termasuk orang Kristen mencoba mengerti dan memahami secara rasional segala sesuatu diluar yang nyata sekalipun, sejauh hal itu  masuk akal bagi pemikiran manusia. Anselmus bukan orang yang melulu irrasional karena ia selalu berusaha dan mencoba memahami dan membuktikan isi imannya. Anselmus memulai pembuktiannya dengan bertitik tolak dari imannya akan Allah. Menurutnya, jika orang mau memahami imannya, maka ia akan sampai pada pemikiran rasional.[13]
            Paham dan pengetahuan mengenai adanya Allah berawal dari iman. Imanlah yang pertama-tama menggerakkan hati kita untuk menyelidiki keberadaan-Nya. Setelah hati tergerak, maka akal budi akan berusaha untuk memahami-Nya dengan jalan refleksi. Kemudian rasio berusaha mengangkat kesadaran akan Allah yang masih bersifat afeksi itu sampai kepada tahap pengertian.[14]
            Kenyataan bahwa Allah dapat kita pahami dalam akal budi. Allah dapat kita pikirkan sebagai sesuatu yang tertinggi. Pemahaman akan adanya yang tertinggi sebagai “ada” tidak lepas dari pemikiran kita akan hal itu dalam akal budi. Sesuatu dikatakan kalau dia dapat dibayangkan, dipikirkan dan dipahami dalam akal budi sipemikir.[15]


4. Kritik atas Paham Anselmus dari Canterbury
4.1.Gaunilon
            Gaunilon adalah seorang rahib dari Marmoutier dekat Tours. Dia adalah filsuf yang hidup sejaman dengan Anselmus. Gaunilon sungguh tidak setuju dan tidak membenarkan paham yang diajukan oleh Anselmus mengenai eksistensi Allah. Kritikan Gaunilon atas hal itu ditemukan dalam buku Liber Pro Insipiente  dan sebuah pamphlet yang ia tulis. Gaunilon mengemukakan dua keberatannya. Pertama ia menyanggah kehadiran Yang Maha Tinggi yang dapat dipikirkan itu di dalam akal. Kedua, menyangkal penyimpulan eksistensi real Allah diluar pikiran dari eksistensi Allah di dalam akal. Keberatan pertama dilontarkan oleh Gaunilon karena dia melihat bahwa kita tidak memiliki ide yang pasti tentang Allah..[16]

4.2. Thomas Aquinas
            Thomas Aquinas sebagai  teolog dan filsuf menolak paham Anselmus sebagai bukti Filosofis. Paham Anselmus dipandang dapat membahayakan ajaran Gereja. Bagi Thomas, sesuatu yang terdapat dalam pikiran tidak pernah dapat disimpulkan bahwa hal itu harus ada dalam kenyataan.[17]
            Menurut Thomas defenisi nominal Allah bukanlah “Yang tertinggi yang dapat dipikirkan”, melainkan Causa prima (penyebab utama). Allah dilihat sebagai yang Mahakuasa (defenisi religius). Dalam hal ini Thomas mulai memperlihatkan garis perbedaan antara filsafat dan teologi.[18]

5. Penutup
            Anselmus adalah seorang yang selalu berusaha untuk mencari kepastian dan membela imannya. Karena itu ia berusaha untuk membuktikan eksistensi Allah secara pasti dan benar. Namun tidak diragukan juga dia adalah seorang filsuf yang teguh dan setia pada imannya. Anselmus tidak memberi sumbangan baru atau paham baru mengenai inti iman agamanya. Namun, dalam karya dan pahamnya tentang “Cur Deus Homo “ (mengapa Allah menjadi manusia), orang menjadi mengerti dan sadar akan imannya sendiri.[19]
            Perdebatan mengenai paham Anselmus mengenai Eksistensi Allah masih selalu diperdebatkan oleh para Filsuf. Paham Anselmus tentang Eksistensi Allah ingin dihapus karena dianggap tidak filosofis. Namun ada juga orang yang setia membela dan melihat kebenaran didalamnya. Dengan bantuan Anselmus semuanya itu bermanfaat bagi kita untuk mengambil sikap yang tepat mengenai Allah. Hal ini tercantum dalam Proslogium. Proslogium Anselmus mengatakan bahwa Allah adalah “sesuatu yang daripada-Nya tidak dapat dibayangkan sesuatu yang lebih besar lagi” (aliquid quo nihil maius cogitari possit).[20]
            Anselmus juga berhasil memberi sumbangan baru terhadap kemampuan akal budi yang beperan dalam menyingkapkan eksistensi Allah. Anselmus juga banyak memberikan sumbangan positif terhadap ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan ia berhasil mempersatukan iman dan rasio, teologi dan filsafat. Baginya iman adalah dasar untuk memperoleh pengertian. Berkat iman kita dapat mengerti dan memahami apa yang diimani itu. Dengan demikian jelaslah bahwa Anselmus tidak hanya menaruh perhatian pada imannya saja, tetapi juga berjasa dalam mengembangkan pengetahuan pada umumnya.[21]
            Hal yang sangat kita kagumi dari Anselmus adalah bahwa dia tetap sebagai pembela iman dan Gereja yang benar. Argumen yang rasional tidak berakibat negative terhadap imannya. Karena itu sangat sulit bagi kita jika argument Anselmus ini kita pertimbangkan tanpa konteks iman yang mencari pengertian.[22]












Daftar Kepustakaan

:
 St. Anselm’s. Proslogion. Penerjemah: Charlesworth, M.J. London: University of Notre Dame, 1979.
Barth, Karl. Anselm’s Proof of the Existence of God in the Context of his Theological         Scheme: Roberstston, ian W. London: SCM. Press Ltd, 1960.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Hamersma, Harry. Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1981.
Huijbers, Theo. Manusia Mencari Allah: Suatu Filsafat Ketuhanan. Yogyakarta: Kanisius, 1985.
Leahy, Louis. Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Snijders, Adelbert, Manusia Paradoks dan Seruan.Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Tjahjadi L. Simon Petrus. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius, 2009.



[1] Adelbert Snijders, Manusia Paradoks dan Seruan, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 13-14. bdk. Frans Magnis –Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 17.
[2] Frans Magnis –Suseno, Menalar Tuhan,…,hlm. 17-18.
[3] Theo Huijbers, Manusia Mencari Allah Suatu Filsafat Ketuhanan, (Yogyakarta: Kanisius, 1977), hlm. 13-14.
[4] Harun Adiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1,(Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 93-94.
[5] Harun Adiwijono, Sari Sejarah Filsafat ...,hlm. 94.
[6]  Simon Petrus L. Tjahjadi, Pertualangan Intelektual, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 124.
[7] St. Anselmus, Proslogium, London: University of Notre Dame, 1979 hlm. 115.
[8] St. Anselmus, Proslogium..., hlm. 115.
[9] Louis Kaly, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Kanisius, Yogyakarta 1993, hlm. 135.
[10] St. Anselmus, Proslogium..., hlm. 135.
[11] St. Anselmus, Proslogium..., hlm. 117.
[12] St. Anselmus, Proslogium..., hlm. 116
[13] Frederick, Copleston, A History…, hlm. 159.
[14] Nico Syukur Dister, Filsafat Agama Kristiani, Yogyakarta: kanisius, 1985. Hlm. 171.
[15] St. Anselmus, Proslogium..., hlm. 117. 
[16] M.j, Charlesworth, St. Anselmus Proslogion,  (London: Oxford University Press, 1965), hlm.76.
[17] Leahy, Louis, Filsafat Ketuhanan Kontemporer ( Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm.56.
[18] St. Anselmus, Proslogium..., hlm. 120.
[19] St. Anselmus, Proslogium..., hlm. 125.
[20] Louis, Leahy, Filsafat Ketuhanan…, hlm. 138.
 [21] St. Anselmus, Proslogium..., hlm. 122.
[22] St. Anselmus, Proslogium..., hlm. 140.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar