Sabtu, 26 Mei 2012

KITAB HUKUM KANONIK (Oleh:Jani Anwar, Bonar Sinabariba,Bernadimus Wiro, Boan Asi Manalu, Roma Tarigan, Romanus Rusdi Fardani, Ronal Purba, Rupinus



Harta Benda Gereja dan Pengolahannya
Kanon 634-640

1. Kan.634 Semangat Kemiskinan 
Kan.634 §1. Untuk melihat seluruh isi Kan. 634 §2, kita juga harus melihat seluruh konteksnya. Pada Kan. 634 §1 lembaga religius dibenarkan untuk memiliki harta benda, namun dalam §2 ditegaskan peringatan untuk menghindari perilaku yang mengancam pudarnya semangat kemiskinan dalam lembaga religius. Kendati demikian hal itu mencerminkan kemiskinan yang bersifat umum. Lembaga religuis harus tetap memiliki semangat kemiskinan yang diikrarkan dalam lembaga itu. Dalam penggunaan harta benda itu selalu harus diingat bahwa tujuan penggunaan itu adalah demi tujuan lembaga religius dan Gereja semata. [1]
 Dalam konstitusi religius (kapusin) harta benda digunakan untuk keperluan-keperluan hidup, keperluan kerasulan dan amal kasih. Tidak diperkenankan atau tidak dibenarkan untuk memiliki harta benda secara pribadi, karena tidak sesuai dengan semangat kemiskinan yang diabdi. Harta benda itu hanya dipakai sebatas keperluan dan atas milik bersama.[2]
Kan. 634 §2 mengutip Prefectae Caritatis (PC). Lembaga-lembaga tetap dapat memiliki harta benda demi kebutuhan hidup dan pengembangan karya-karya lembaga itu, namun tetap dihindari sikap hidup mewah, serakah, mencari keuntungan dan penimbunan harta. Karena hal itu tidak dibenarkan atas semangat kemiskinan yang dipeluk erat oleh setiap lembaga religius.[3] Adapun mengenai kemiskinan itu tidak cukuplah hanya menggunakan barang-barang dengan cara yang benar dan dibawah izin dari Pemimpin, tetapi para anggota hendaknya miskin baik lahir maupun batin, karena harta benda mereka sudah ada di surga (lih. Mat 6:20).
Meskipun lembaga-lembaga dengan tetap mengindahkan regula dan konstitusi, tetapi lembaga religius memiliki hak untuk mempunyai segala sesuatu yang perlu untuk penghidupan dan karya-karyanya, harus selali dijaga citarasa kemiskinan tersebut dan  tetap diingat juga bahwa  itu semua demi tujuan mulia dari lembaga itu dan demi Gereja. [4]
Dalam teks Prefectae Caritatis (PC) 13 dan KHK Kan. 634 §2 tidak dipersoalkan benar tidaknya lembaga religius itu hidup mewah, serakah atau menimbun kekayaan. Melainkan kesan yang negatif itu saja harus dihindari. Karena dalam nasihat Injili lembaga religius sudah menjanjikan hidup miskin. Demi tercapainya tujuandari janji itu dia sendiri harus secara ikhlas dab sepenuh hati harus hidup dalam semangat kemiskinan itu. Hidup seturut semangat itu bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga satu kesaksia bagi dunia.[5]  

Kemampuan memiliki (Kan. 634 §1)
Kemampuan Lembaga Religius sebagai Badan Hukum untuk Memiliki:
Dasar kepemilikan lembaga religius adalah hukum kodrat seperti dinyatakan Gereja dalam ajaran sosialnya. Gereja melihat “rela hidup miskin” sebagai tanda pengikut Kristus, khususnya dalam diri para Religius. Dengan menjadi miskin demi kerajaan Allah, kita mengambil bagian dalam sikap Kristus sebagai anak terhadap Bapa, dan saudara dan hamba terhadap manusia. [6]  
Selain itu juga, sebagai badan hukum baik menurut hukum sipil maupun menurut hukum kanonik, lembaga religius mampu memiliki sarana-sarana penunjang kehidupan dan karya-karya lembaga itu. Jadi harta benda dapat dimiliki sebagai sarana pencapaian tujuan lembaga religius dan Gereja yang berkecimpung di banyak bidang. [7]
Lembaga provinsi dan biara sebagai badan hukum mampu memiliki. Dalam hal milik atau kemampuan untuk memiliki tersirat kemampuan atau hak untuk memperoleh dan mengalih-milikan harta benda. Kemampuan ini dalam lembaga religus dapat dilihat dalam prinsip subsidiaritas, yaitu untuk menghindari ketergantungan yang terlalu besar dan demi kelancaran tugas dan pertanggungjawaban administratif tanpa merugikan kelancaran karya lembaga. Di lain pihak pembatasan kemampuan memiliki atau peniadaan kemampuan itu dimungkinkan dan dinyatakan dalam konstitusi.[8]
Dapat kita lihat dalam Kan. 638, bahwa hukum tarekat (lembaga religius) sendiri menentukan tindakan-tindakan yang telah melampaui batas dalam hal kepemilikan harta benda dan cara pengelolaannya. Untuk melihat cara pengelolaan harta benda ada ketentuan yang hendak dipegang dalam Kan,1284 §2 No 2.

2. Pengaturan atau Pengelolaan Harta Benda Gerejani Kan. 635
Kan. 635 §1 diungkapkan secara jelas mengenai suatu norma-norma harta benda gerejani khususnya untuk lembaga religius sebagai harta benda gerejani. Dalam Kan. 635 §2 lembaga religius diberi suatu pertanggung jawaban untuk menguraikan atau merumuskan aturan-aturan yang jelas mengenai pengelolaan harta benda.

§1: Peraturan pengelolaan harta benda gerejani khususnya harta benda lembaga religius
Kan. 635 §1 mengungkapkan serta menjelaskan secara khusus harta benda religius. Harta benda lembaga religius merupakan harta benda gerejani. Hal ini dapat dilihat dalam buku V. Buku V dalam Kitab Hukum Kanonik menjelaskan harta benda lembaga religius, yang memiliki suatu kesejajaran dalam kan.635 §1. Kan 1257 dalam buku V menjelaskan aturan-aturan mengenai pengelolaan harta benda lembaga religius sebagai harta benda gerejani.[9]


Harta benda lembaga religius sebagai harta benda gerejani :
Kan. 1257 §1 menjelaskan seluruh harta benda yang tergabung Gereja universal atau badan hukum publik lain dalam gereja adalah harta benda gerejani dan segala keseluruhan ini diatur dalam buku V dan peraturan atau norma dari masing-masing lembaga religius. Harta benda gerejani dalam kan 1257 §1 memiliki bentuk yang formal. Hal ini harus melihat konteks serta situasi yang sesuai dengan tujuannya untuk karya gereja, misalnya penghidupan para petugas, karya amal dan orang yang tidak mampu (bdk. Kan.1257 § 2). Pengelolaan harta benda  lembaga religius kurang sesuai dengan konteksnya, apabila seorang religius memiliki harta pribadi yang tidak sesuai norma dari lembaga religius tersebut. Maka hal ini tidak termasuk harta benda gerejani.[10]

§2: Penyusunan suatu norma unutk melindungi, menjelaskan kemiskinan yang khas untuk masing-masing lembaga religius
Harta benda gerejani tidak hanya disusun atau ditata oleh hukum universal (Buku V, kan 1254), tetapi hal ini tersusun juga menurut badan hukum masing-masing. Kan. 635 §2 menjelaskan suatu penegasan terhadap lembaga religius atas penggunaan dan pengelolaan harta benda lembaga religius tersebut. Hal ini diberi suatu kejelasan yang tepat untuk memelihara, melindungi dan menerangkan kemiskinan yang khas dari masing-masing lembaga religius. Paragraf dua ini menghubungkan urusan pemeliharaan atau penanganan yang tepat dari harta benda lembaga religius. Setiap lembaga religius mempergunakan hukum umum dari gereja. Untuk mendirikan sesuatu biara atau lembaga religius harus diperhatikan kanon dalam buku V dan memperhatikan juga ciri khas kemiskinan dari lembaga religius yang bersangkutan. Hal ini berdasar dari lembaga religius yang mengikrarkan kaul kemiskinan (harta benda), yang sesuai dengan tujuannya. Seluruh bentuk kemiskinan ini dari lembaga religius dapat disatukan ke dalam hukum partikular masing-masing lembaga religius dan dengan pertimbangan ekonomis.[11]



3. Kanon 636. Mengenai Ekonom atau Bendahara
§1: Perlunya Ekonom
Dalam mengelola harta benda Lembaga Religius tidak cukup hanya norma-norma yang perlu dibuat untuk mengelolanya. Harus ada satu orang yang dipercayakan untuk mengelola harta benda itu. Dalam kanon 636 § 1, dinyatakan perlunya seorang ekonom yang mengawasi dan mengatur harta benda itu. Bagi lembaga religius dituntut ada seorang ekonom yang bukan Pemimpin Tinggi dari lembaga itu sendiri. Ekonom itu diangkat menurut norma hukum atau konstitusi lembaga itu. Meski tugas pengelolaan harta itu sudah dipercayakan kepadanya, namun semua itu dilakukannya dibawah pimpinan atau kontrol Pemimpinnya masing-masing.[12]
            Untuk komunitas lokal atau komunitas kecil, juga diangkat seorang ekonom yang bukan Pemimpin di komunitas lokal itu sendiri. Pelu diperhatikan ialah supaya jangan ada tugas rangkap, yakni tugas sebagai Pemimpin dan tugas sebagai ekonom, karena lingkup kerja dan jumlah kerja lebih besar dan membutuhkan tanggungjawab yang lebih besar.[13]

§ 2: Perlunya Pertanggungjawaban Ekonom
            Hendaknya seorang ekonom yang dipercayakan untuk mengelola harta benda Lembaga Religius dengan sungguh-sungguh mempertanggungjawabkan tugas yang ia emban itu, dan memberikan laporan pertanggungjawaban kepada kuasa yang telah mempercayakan tugas itu kepadanya. Cara pertanggungjawaban itu dilaksanakan menurut norma atau konstitusi yang ada berlaku dalam Lembaga itu sendiri.[14]

4. Kanon 637 Pertanggungjawab Biara Mandiri dan Biara Tingkat Diosesan
            Dalam kanon 637 dijelaskan tentang pertanggungjawaban dalam mengelola harta benda oleh biara-biara mandiri dan biara-biara tingkat keuskupan. Dari kedua biara ini memiliki status yang berbeda dan tidak dapat disamakan. Hanya dapat diuraikan bagaimana status dari biara mandiri dan biara tingkat keuskupan.
Biara Mandiri
Dalam kanon 613 §1 menjelaskan bahwa rumah religius para kanonik regulir dan para rahib yang berada di bawah kepemimpinan dan reksa pemimpin sendiri adalah mandiri, kecuali jika konstitusi menentukan lain. Biara mandiri dalam kan 615 merupakan biara yang terdiri dari pria atau wanita tidak memiliki pemimpin tinggi lain, hanya pemimpin yang ada di biara itulah yang memiliki kuasa penuh dalam mengelola kebutuhan dan harta benda yang digunakan, misalnya para rahib dan para kanonik regulir.[15] Pemimpin tertinggi dalam biara mandiri yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan penggunaan harta benda harus melaporkan pertanggungjawaban tersebut kepada waligereja setempat sebagai instansi langsung yang tertinggi.[16] Yang dimaksud waligereja setempat adalah uskup di keuskupan setempat. Keuskupan berhak mengetahui kondisi biara mandiri karena biara mandiri yang berada di keuskupan tertentu termasuk dalam anggota dari wilayah keuskupan yang bersangkutan.
Harta benda yang dimiliki oleh religius adalah harta benda gerejawi yang kemudian diatur dalam ketentuan buku V dari Kitab Hukum Kanonik. Harta benda gerejawi akan sangat berguna apabila penggunaan dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan yang ada dalam kan 635.[17]

Biara Tingkat Diosesan
Biara yang berstatus tingkat Diosesan berada dibawah pengawasan waligereja setempat atau keuskupan dimana biara tersebut berdomisili. Uskup sebagai otoritas tertinggi berhak atas pengawasan yang atas biara-biara tersebut. Pengelolaan dan penggunaan harta benda oleh setiap biara wajib melaporkan pertanggungjawabanya sebagaimana mestinya. Laporan pertanggungjawaban penggunaan harta benda kepada waligereja setempat dilakukan atau dibuat oleh setiap ekonom-ekonom dalam masing-masing biara. Dapat juga pemeriksaan laporan pertanggungjawaban ini dilakukan di setiap biara-biara oleh orang yang diberi kewenangan oleh pemimpin tertinggi wilayah untuk melihat dan memeriksa laporan-laporan pertanggungjawaban tersebut.
Dari kanon 637 jelas bahwa setiap biara-biara baik itu biara mandiri maupun biara tingkat Diosesan harus melaporkan pertanggungjawaban atas pengelolaan dan penggunaan harta benda gerejawi.

5. Kanon 638 Soal pengelolaan biasa dan luar biasa
Kanon ini terdiri dari 4 pasal. Di dalamnya dibicarakan hal-hal yang harus ditaati oleh para relegius dalam mengelola harta benda. § 1-§ 2, membahas soal pengelolaan biasa dan luar biasa, sedangkan § 3-§ 4 membahas soal pengalihan milik (alienatio) yang juga menyangkut pengelolaan luar biasa. Jadi kanon ini dibicarakan dalam dua tahap. [18]

§ 1-§ 2: Pengertian Pengelolaan Biasa dan Luar Biasa
Pengelolaan barang-barang sesuai dengan tujuan aslinya disebut penglolaan biasa (Patrimonium stabile) meliputi segala tindakan untuk mempertahankan, memelihara, memperbaiki dan membuatnya bermanfaat. Sedangkan yang mengatasinya disebut pengelolaan luar biasa (patrimonium liberum) adalah tindakan pengalihan milik (alienatio).[19]

Lingkup
            Hukum lembaga bertugas dalam batas-batas universal menentukan pengelolaan biasa (batas dan cara).
Kewenangan menjalankan pengelolaan biasa (§ 2 )
Yang berwenang melakukan pengeluaraan dan perbuatan hukum secara sah dalam pengelolaan biasa adalah: Para pemimpin dan para petugas yang ditunjuk untuk hal itu menurut hukum lembaga, dalam batas-batas tugasnya.[20]

§ 3-§ 4: Soal Pengalihan Milik (alienatio)[21]
Arti pengalihan milik (alienatio)
Dalam arti sempit: perbuatan hukum yang mengakibatkan orang melepaskan hak milik (bdk. Kan. 1291).
Dalam arti luas: perbuatan hukum yang mengakibatkan badan hukum Gerejawi beralih ke posisi yuridis dalam hal harta benda. Bdk. Kan. 1295.   

Makna Persyaratan untuk Alienatio
Makna persyaratan untuk tindakan alienatio ialah perlindungan harta benda Gerejawi dengan adanya pengawasan lewat perlunya persetujuan instansi lain.

§3: Perlunya Izin untuk Alienatio oleh Lembaga Relegius pada Umumnya 
Izin tertulis pemimpin yang berwenang dengan dewannya dibutuhkan untuk sahnya pengalihan milik serta urusan apa pun di mana keadaan kekayaan badan hukum dapat menjadi lebih lemah.
Selain itu dibutuhkan juga izin dari Tahta Suci untuk urusan yang melebihi jumlah yang ditetapkan Tahta Suci untuk masing-masing wilayah.
§4: Perlunya Izin juga dari Waligereja Setempat bagi Biara Mandiri dan Biara Tingkat Diosesan
Alasannya ialah waligereja setempat merupakan instansi langsung tertinggi yang berhak mengawasinya, maka izin tertulis daripadanya juga dibutuhkan untuk alienatio oleh biara mandiri dan biara yang berstatus tingkat diosesan. Alienatio ini termasuk pengelolaan luar biasa.

6. Kan. 639 Tanggung jawab para biarawan yang melakukan kontrak keuangan
§1: Kontrak badan hukum
            Dalam kanon ini dijelaskan badan hukum (Biara atau Provinsi), mempunyai kewajiban penuh untuk bertanggung jawab atas kontrak hutang dan beban keuangan yang telah dibuat, meskipun kontrak hutang dan beban keuangan itu dibuat atas izin dari pimpinan. Dalam  hal ini provinsi dan Biara tidak ikut bertanggung jawab dalam kontak hutang dan beban keuangan tersebut.[22]

§2: Kontrak anggota
Dalam kontrak anggota ini, terdapat dua kemungkinan:
Pertama: jika seorang anggota, atas kehendaknya membuat kontrak mengenai harta bendanya sendiri dan dengan izin dari pimpinan, maka dia sendirilah yang harus mempertanggungjawabkannya. Para anggota sebelum profesi bebas menyerahkan pengelolaan harta benda kepada orang yang dikehendakinya dan menentukan dengan bebas penggunaan serta pemanfaatannya, kecuali jika konstitusi menentukan lain (Kan. 668).[23]
Kedua: jika seorang anggota melaksanakan urusan lembaganya atas mandat pemimpin, maka lembagalah yang harus mempertanggungjawabkan tugas yang diberikan tersebut. Tetapi meskipun anggota tersebut tidak ikut bertanggunbngjawab secara penuh, anggota tersebut tidak dapat sekehendaknya melepaskan tugas yang telah diterimanya (Kan. 1289).[24]

§ 3: Kontrak biarawan tanpa izin 
Jika religius membuat kontrak tanpa izin apapun dari Pemimpin, ia sendiri harus mempertanggungjawabkan, dan bukan badan hukum.
Jika seorang biarawan membuat kontrak tanpa izin apa pun dari Pemimpin, maka dia sendirilah yang harus mempertanggungjawabkannya, bukan badan hukum.[25]

§ 4: Gugatan
Namun tetap berlaku bahwa selalu dapat dajukan gugatan terhadap pihak yang menarik suatu keuntungan dari kontrak yang diadakan itu.
Terhadap seorang yang menarik keuntungan dari kontrak yang diadakan selalu dapat diajukan gugatannya. Alasannya ialah : bahwa tidak boleh menarik keuntungan bagi diri sendiri dengan merugikan orang lain. Maka ada hak untuk minta restitusi.[26] Tetapi sejauh hukum negara memungkinkan itu. Pengadilan Gerejani tak mempunyai sarana untuk memaksakan keputusannya sendiri.

§ 5: Persyaratan untuk meminjam uang
Para Pemimpin religius hendaknya menjaga agar jangan mengizinkan membuat hutang, kecuali pasti bahwa dari pendapatan yang biasa, bunga hutang itu dapat dibayar dan dalam waktu yang tidak terlalu lama pokok utang dapat dikembalikan dengan pelunasan legitim.
Para pemimpin religus hendaknya menjaga agar jangan mengizinkan membuat hutang, kecuali jika pasti bahwa :
a.  Bunga hutang dapat dibayar dari pendapatan yang biasa
b. Pokok hutang dapat dikembalikan dengan pelunasan sah dalam waktu yang  tak terlalu lama.
Kanon 639 § 5 tidak menjelaskan secara spesifik waktu pelunasan hutang. Dalam kasus pembangunan sebuah gedung/bangunan, daya tahan yang diharapkan dari gedung tersebut bisa menjadi suaru pertimbangan. Secara umum, periode 25 tahun tidaklah terlalu lama dalam kasus di atas. Dalam kasus lain, seperti pembelian perabot atau kendaraan bermotor, periode tujuh tahun dirasakan cukup untuk pelunasan utang. [27]
Kanon 639 tidak menjadi patokan keabsahan suatu hutang. Harus disadari bahwa suatu administrasi umum tetap menjadi aturan yang harus diikuti.

7. Kan 640
Kesaksian cintakasih dan kemiskinan
Kan. 634 § 2 dan kan. 640 bersumber pada PC 13. Kan 634 § 2 mengutip secara lansung PC 13 sedangkan kan. 640 ini bersuber pada PC 13 mengenai kesaksian kolektif kemiskinan dan cinta kasih. Lembaga religius diingatkan akan segi-segi hakiki nasehat injili kemiskinan yang diingkarkan dalam lembaga religius. Patut dicamkan bahwa dalam teks PC 13 dan Kan 634 § 2 tak dipersoalkan benar tidaknya lembaga relegius itu mewah, serakah dan meninbum kekayaan, melainkan bahkan kesan yang negatif itu saja sudah harus dihindari. Mungkin saja kesan demikian itu, dan tuduhan yang ikut di akibatkan kesan itu tidak benar dan tidak adil, tetapi nilai dan efektivitas kesaksian lembaga relegius dilemahkan olehnya. Nasehat injili kemiskinan diikrarkan tidak hanya untuk diri sendiri, melainkan juga sebagai kesaksian bagi dunia.
Kan 640 menekankan dua poin yang menjadi perhatian bagi lembaga relegius:
* Memberi kesaksian kolektif cinta kasih dan kemiskinan: kiranya  istilah kolektif bukan hanya untuk menghindari kesan bahwa anggota secara individual memang miskin, tak memiliki apa-apa (tetapi tak kekurangan apa-apa, karena biaranya atau propinsinya kaya), tetapi secara kolektif lembaga relegius kaya, melainkan juga karena sebagai kelompok dalam gereja lembaga relegius  bertugas memberi kesaksian.
* cinta kasih kiranya harus dihubungkan dengan permintaan agar lembaga relegius memberi sesuatu dari harta-miliknya, baik bagi kebutuhan gereja, maupun guna membantu mereka yang berkekurangan.
            Dalam PC 13 yang menjadi sumber kan 640 ini dianjurkan juga solidaritas antar lembaga, jadi membantu lembaga relegius yang tak mampu. Dengan demikian dimensi sosial hak milik dan nasehat injili kemiskinan yang diikrarkan dalam lembaga relegius tampak juga.





DAFTAR PUSTAKA

Go, Piet. Hukum Kanonik : Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan (KHK Kan. 573 – 746). Malang : STFT Widya Sasana, 1984.
Morrisey,  F.G. “Temporal Goods and Their Administration” dalam Exegetical Commentary on the Code of Canon Law Vol II/2, Angel Marzoa (ed.). Montreal dan Chicago: Wilson & Lafleur dan Midwest Theological Forum, 2004.
Peraturan Hidup Kapusin, no. 59 Roma: [tanpa penerbit], 1982.
Konsili Vatikan II, “ Dekrit Perfectae Caritatis “, no 13, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Ende: Nusa Indah, 1970.
Sampang Tumanggor, Yohanes. Tarekat Hidup Bakti: Menurut Kitab Hukum Kanonik 1983. Medan: [tanpa penerbit], 2008 (Diktat).


[1] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, (Malang:[tanpa penerbit], 1984), hlm.53.
[2] Peraturan Hidup Kapusin, no. 59 (Roma: [tanpa penerbit],1982).
[3] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga Hidup Bakti,…hlm. 53.
[4] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga Hidup Bakti,…hlm. 53.
[5] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga Hidup Bakti,…hlm. 53.
[6] Konsili Vatikan II, “ Dekrit Perfectae Caritatis “, no 13, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, ( Ende: Nusa Indah, 1970 ), no. 13.
[7] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga Hidup Bakti…, hlm.54.
[8] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga Hidup Bakti…, hlm.55.
[9] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga Hidup Bakti…, hlm.55.
[10] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga Hidup Bakti…, hlm.55.
[11] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga Hidup Bakti …, hlm. 56.
[12] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga Hidup Bakti …, hlm. 56.
[13] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga Hidup Bakti …, hlm. 56.
[14] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga Hidup Bakti …, hlm. 56.

[15]  Yohanes Sampang Tumanggor, Tarekat Hidup Bakti: Menurut Kitab Hukum Kanonik 1983. (Medan: [tanpa penerbit], 2008), hlm. 13. (Diktat).
[16] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga Hidup Bakti …, hlm.53.
[17] Yohanes Sampang Tumanggor, Tarekat Hidup Bakti …, hlm. 15.

[18] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga Hidup Bakti …, hlm.57.
[19] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga Hidup Bakti …, hlm.58.
[20] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga Hidup Bakti …, hlm.58.
[21] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga Hidup Bakti …, hlm.59.
[22] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga Hidup Bakti …, hlm.60.
[23] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga Hidup Bakti …, hlm.60.
[24] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga Hidup Bakti …, hlm.60.
[25] Bdk. CIC 1281 § 3, 1289, 1296.  
[26] Restitution in integrum: peninjauan ulang secara keseluruhan ; naik banding.
[27] F.G. Morrisey, “Temporal Goods and Their Administration” dalam Exegetical Commentary on the Code of Canon Law Vol II/2, Angel Marzoa (ed.) (Montreal dan Chicago: Wilson & Lafleur dan Midwest Theological Forum), hlm. 1672.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar