Harta Benda Gereja dan Pengolahannya
Kanon 634-640
1. Kan.634 Semangat
Kemiskinan
Kan.634 §1. Untuk melihat seluruh isi Kan. 634 §2,
kita juga harus melihat seluruh konteksnya. Pada Kan. 634 §1 lembaga religius dibenarkan untuk memiliki harta benda, namun
dalam §2 ditegaskan peringatan untuk
menghindari perilaku yang mengancam pudarnya semangat kemiskinan dalam lembaga
religius. Kendati demikian hal itu mencerminkan kemiskinan yang bersifat umum.
Lembaga religuis harus tetap memiliki semangat kemiskinan yang diikrarkan dalam
lembaga itu. Dalam penggunaan harta benda itu selalu harus diingat bahwa tujuan
penggunaan itu adalah demi tujuan lembaga religius dan Gereja semata. [1]
Dalam konstitusi
religius (kapusin) harta benda digunakan untuk keperluan-keperluan hidup,
keperluan kerasulan dan amal kasih. Tidak diperkenankan atau tidak dibenarkan
untuk memiliki harta benda secara pribadi, karena tidak sesuai dengan semangat
kemiskinan yang diabdi. Harta benda itu hanya dipakai sebatas keperluan dan
atas milik bersama.[2]
Kan. 634 §2 mengutip Prefectae Caritatis
(PC). Lembaga-lembaga tetap dapat memiliki harta benda demi kebutuhan hidup dan
pengembangan karya-karya lembaga itu, namun tetap dihindari sikap hidup mewah,
serakah, mencari keuntungan dan penimbunan harta. Karena hal itu tidak
dibenarkan atas semangat kemiskinan yang dipeluk erat oleh setiap lembaga
religius.[3]
Adapun mengenai kemiskinan itu tidak cukuplah hanya menggunakan barang-barang
dengan cara yang benar dan dibawah izin dari Pemimpin, tetapi para anggota
hendaknya miskin baik lahir maupun batin, karena harta benda mereka sudah ada
di surga (lih. Mat 6:20).
Meskipun lembaga-lembaga dengan tetap mengindahkan regula
dan konstitusi, tetapi lembaga religius memiliki hak untuk mempunyai segala
sesuatu yang perlu untuk penghidupan dan karya-karyanya, harus selali dijaga
citarasa kemiskinan tersebut dan tetap
diingat juga bahwa itu semua demi tujuan
mulia dari lembaga itu dan demi Gereja. [4]
Dalam teks Prefectae
Caritatis (PC) 13 dan KHK Kan. 634 §2
tidak dipersoalkan benar tidaknya lembaga religius itu hidup mewah, serakah
atau menimbun kekayaan. Melainkan kesan yang negatif itu saja harus dihindari.
Karena dalam nasihat Injili lembaga religius sudah menjanjikan hidup miskin.
Demi tercapainya tujuandari janji itu dia sendiri harus secara ikhlas dab
sepenuh hati harus hidup dalam semangat kemiskinan itu. Hidup seturut semangat
itu bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga satu kesaksia bagi dunia.[5]
Kemampuan memiliki (Kan. 634 §1)
Kemampuan Lembaga Religius
sebagai Badan Hukum untuk Memiliki:
Dasar kepemilikan lembaga religius adalah hukum kodrat
seperti dinyatakan Gereja dalam ajaran sosialnya. Gereja melihat “rela hidup
miskin” sebagai tanda pengikut Kristus, khususnya dalam diri para Religius.
Dengan menjadi miskin demi kerajaan Allah, kita mengambil bagian dalam sikap
Kristus sebagai anak terhadap Bapa, dan saudara dan hamba terhadap manusia.
[6]
Selain itu juga, sebagai badan hukum baik menurut hukum
sipil maupun menurut hukum kanonik, lembaga religius mampu memiliki sarana-sarana
penunjang kehidupan dan karya-karya lembaga itu. Jadi harta benda dapat
dimiliki sebagai sarana pencapaian tujuan lembaga religius dan Gereja yang
berkecimpung di banyak bidang. [7]
Lembaga provinsi dan biara sebagai badan hukum mampu
memiliki. Dalam hal milik atau kemampuan untuk memiliki tersirat kemampuan atau
hak untuk memperoleh dan mengalih-milikan harta benda. Kemampuan ini dalam
lembaga religus dapat dilihat dalam prinsip subsidiaritas, yaitu untuk
menghindari ketergantungan yang terlalu besar dan demi kelancaran tugas dan
pertanggungjawaban administratif tanpa merugikan kelancaran karya lembaga. Di
lain pihak pembatasan kemampuan memiliki atau peniadaan kemampuan itu
dimungkinkan dan dinyatakan dalam konstitusi.[8]
Dapat kita lihat dalam Kan. 638, bahwa hukum tarekat
(lembaga religius) sendiri menentukan tindakan-tindakan yang telah melampaui
batas dalam hal kepemilikan harta benda dan cara pengelolaannya. Untuk melihat
cara pengelolaan harta benda ada ketentuan yang hendak dipegang dalam Kan,1284 §2 No 2.
2. Pengaturan atau Pengelolaan Harta Benda Gerejani Kan. 635
Kan. 635 §1 diungkapkan
secara jelas mengenai suatu norma-norma harta benda gerejani khususnya untuk
lembaga religius sebagai harta benda gerejani. Dalam Kan. 635 §2 lembaga religius diberi suatu
pertanggung jawaban untuk menguraikan atau merumuskan aturan-aturan yang jelas
mengenai pengelolaan harta benda.
§1: Peraturan pengelolaan
harta benda gerejani khususnya harta benda lembaga religius
Kan. 635 §1
mengungkapkan serta menjelaskan secara khusus harta benda religius. Harta benda
lembaga religius merupakan harta benda gerejani. Hal ini dapat dilihat dalam
buku V. Buku V dalam Kitab Hukum Kanonik menjelaskan harta benda lembaga
religius, yang memiliki suatu kesejajaran dalam kan.635 §1. Kan
1257 dalam buku V menjelaskan aturan-aturan mengenai pengelolaan harta benda
lembaga religius sebagai harta benda gerejani.[9]
Harta benda lembaga religius sebagai harta benda
gerejani :
Kan. 1257 §1 menjelaskan seluruh
harta benda yang tergabung Gereja universal atau badan hukum publik lain dalam
gereja adalah harta benda gerejani dan segala keseluruhan ini diatur dalam buku
V dan peraturan atau norma dari masing-masing lembaga religius. Harta benda
gerejani dalam kan
1257 §1 memiliki bentuk yang formal.
Hal ini harus melihat konteks serta situasi yang sesuai dengan tujuannya untuk
karya gereja, misalnya penghidupan para petugas, karya amal dan orang yang
tidak mampu (bdk. Kan.1257 § 2).
Pengelolaan harta benda lembaga religius
kurang sesuai dengan konteksnya, apabila seorang religius memiliki harta
pribadi yang tidak sesuai norma dari lembaga religius tersebut. Maka hal ini
tidak termasuk harta benda gerejani.[10]
§2: Penyusunan suatu norma
unutk melindungi, menjelaskan kemiskinan yang khas untuk masing-masing lembaga
religius
Harta benda gerejani tidak hanya disusun atau ditata oleh
hukum universal (Buku V, kan
1254), tetapi hal ini tersusun juga menurut badan hukum masing-masing. Kan. 635
§2 menjelaskan suatu penegasan
terhadap lembaga religius atas penggunaan dan pengelolaan harta benda lembaga
religius tersebut. Hal ini diberi suatu kejelasan yang tepat untuk memelihara,
melindungi dan menerangkan kemiskinan yang khas dari masing-masing lembaga
religius. Paragraf dua ini menghubungkan urusan pemeliharaan atau penanganan
yang tepat dari harta benda lembaga religius. Setiap lembaga religius
mempergunakan hukum umum dari gereja. Untuk mendirikan sesuatu biara atau lembaga
religius harus diperhatikan kanon dalam buku V dan memperhatikan juga ciri khas
kemiskinan dari lembaga religius yang bersangkutan. Hal ini berdasar dari
lembaga religius yang mengikrarkan kaul kemiskinan (harta benda), yang sesuai
dengan tujuannya. Seluruh bentuk kemiskinan ini dari lembaga religius dapat
disatukan ke dalam hukum partikular masing-masing lembaga religius dan dengan
pertimbangan ekonomis.[11]
3. Kanon 636. Mengenai Ekonom
atau Bendahara
§1: Perlunya Ekonom
Dalam mengelola harta benda Lembaga Religius tidak cukup
hanya norma-norma yang perlu dibuat untuk mengelolanya. Harus ada satu orang
yang dipercayakan untuk mengelola harta benda itu. Dalam kanon 636 § 1,
dinyatakan perlunya seorang ekonom yang mengawasi dan mengatur harta benda itu.
Bagi lembaga religius dituntut ada seorang ekonom yang bukan Pemimpin Tinggi
dari lembaga itu sendiri. Ekonom itu diangkat menurut norma hukum atau
konstitusi lembaga itu. Meski tugas pengelolaan harta itu sudah dipercayakan
kepadanya, namun semua itu dilakukannya dibawah pimpinan atau kontrol
Pemimpinnya masing-masing.[12]
Untuk komunitas lokal atau komunitas
kecil, juga diangkat seorang ekonom yang bukan Pemimpin di komunitas lokal itu
sendiri. Pelu diperhatikan ialah supaya jangan ada tugas rangkap, yakni tugas
sebagai Pemimpin dan tugas sebagai ekonom, karena lingkup kerja dan jumlah
kerja lebih besar dan membutuhkan tanggungjawab yang lebih besar.[13]
§ 2: Perlunya
Pertanggungjawaban Ekonom
Hendaknya seorang ekonom yang
dipercayakan untuk mengelola harta benda Lembaga Religius dengan
sungguh-sungguh mempertanggungjawabkan tugas yang ia emban itu, dan memberikan
laporan pertanggungjawaban kepada kuasa yang telah mempercayakan tugas itu
kepadanya. Cara pertanggungjawaban itu dilaksanakan menurut norma atau
konstitusi yang ada berlaku dalam Lembaga itu sendiri.[14]
4. Kanon 637 Pertanggungjawab
Biara Mandiri dan Biara Tingkat Diosesan
Dalam kanon 637 dijelaskan tentang
pertanggungjawaban dalam mengelola harta benda oleh biara-biara mandiri dan
biara-biara tingkat keuskupan. Dari kedua biara ini memiliki status yang
berbeda dan tidak dapat disamakan. Hanya dapat diuraikan bagaimana status dari
biara mandiri dan biara tingkat keuskupan.
Biara Mandiri
Dalam kanon 613 §1 menjelaskan bahwa rumah religius para
kanonik regulir dan para rahib yang berada di bawah kepemimpinan dan reksa
pemimpin sendiri adalah mandiri, kecuali jika konstitusi menentukan lain. Biara
mandiri dalam kan 615 merupakan biara yang terdiri dari pria atau wanita tidak
memiliki pemimpin tinggi lain, hanya pemimpin yang ada di biara itulah yang
memiliki kuasa penuh dalam mengelola kebutuhan dan harta benda yang digunakan,
misalnya para rahib dan para kanonik regulir.[15] Pemimpin tertinggi dalam biara mandiri yang bertanggung jawab atas
pengelolaan dan penggunaan harta benda harus melaporkan pertanggungjawaban
tersebut kepada waligereja setempat sebagai instansi langsung yang tertinggi.[16] Yang dimaksud waligereja setempat adalah uskup di keuskupan setempat.
Keuskupan berhak mengetahui kondisi biara mandiri karena biara mandiri yang
berada di keuskupan tertentu termasuk dalam anggota dari wilayah keuskupan yang
bersangkutan.
Harta benda yang dimiliki oleh religius adalah harta benda
gerejawi yang kemudian diatur dalam ketentuan buku V dari Kitab Hukum Kanonik.
Harta benda gerejawi akan sangat berguna apabila penggunaan dan pengelolaannya
sesuai dengan ketentuan yang ada dalam kan
635.[17]
Biara Tingkat Diosesan
Biara yang berstatus tingkat Diosesan berada dibawah
pengawasan waligereja setempat atau keuskupan dimana biara tersebut
berdomisili. Uskup sebagai otoritas tertinggi berhak atas pengawasan yang atas
biara-biara tersebut. Pengelolaan dan penggunaan harta benda oleh setiap biara
wajib melaporkan pertanggungjawabanya sebagaimana mestinya. Laporan
pertanggungjawaban penggunaan harta benda kepada waligereja setempat dilakukan
atau dibuat oleh setiap ekonom-ekonom dalam masing-masing biara. Dapat juga
pemeriksaan laporan pertanggungjawaban ini dilakukan di setiap biara-biara oleh
orang yang diberi kewenangan oleh pemimpin tertinggi wilayah untuk melihat dan
memeriksa laporan-laporan pertanggungjawaban tersebut.
Dari kanon 637 jelas bahwa setiap biara-biara baik itu
biara mandiri maupun biara tingkat Diosesan harus melaporkan pertanggungjawaban
atas pengelolaan dan penggunaan harta benda gerejawi.
5. Kanon 638 Soal pengelolaan
biasa dan luar biasa
Kanon ini terdiri dari 4 pasal. Di dalamnya dibicarakan
hal-hal yang harus ditaati oleh para relegius dalam mengelola harta benda. § 1-§
2, membahas soal pengelolaan biasa dan luar biasa, sedangkan § 3-§ 4 membahas
soal pengalihan milik (alienatio) yang juga menyangkut pengelolaan luar biasa.
Jadi kanon ini dibicarakan dalam dua tahap. [18]
§ 1-§ 2: Pengertian Pengelolaan Biasa
dan Luar Biasa
Pengelolaan barang-barang sesuai dengan tujuan aslinya
disebut penglolaan biasa (Patrimonium
stabile) meliputi segala tindakan untuk mempertahankan, memelihara,
memperbaiki dan membuatnya bermanfaat. Sedangkan yang mengatasinya disebut
pengelolaan luar biasa (patrimonium
liberum) adalah tindakan pengalihan milik (alienatio).[19]
Lingkup
Hukum lembaga bertugas dalam
batas-batas universal menentukan pengelolaan biasa (batas dan cara).
Kewenangan menjalankan
pengelolaan biasa (§ 2 )
Yang berwenang melakukan pengeluaraan dan perbuatan hukum
secara sah dalam pengelolaan biasa adalah: Para
pemimpin dan para petugas yang ditunjuk untuk hal itu menurut hukum lembaga,
dalam batas-batas tugasnya.[20]
Arti pengalihan milik (alienatio)
Dalam arti sempit: perbuatan hukum yang mengakibatkan orang
melepaskan hak milik (bdk. Kan.
1291).
Dalam arti luas: perbuatan hukum yang mengakibatkan badan
hukum Gerejawi beralih ke posisi yuridis dalam hal harta benda. Bdk. Kan.
1295.
Makna Persyaratan untuk Alienatio
Makna persyaratan untuk tindakan alienatio ialah perlindungan harta benda Gerejawi dengan adanya
pengawasan lewat perlunya persetujuan instansi lain.
§3: Perlunya Izin untuk Alienatio oleh Lembaga Relegius pada
Umumnya
Izin tertulis pemimpin yang berwenang dengan dewannya
dibutuhkan untuk sahnya pengalihan milik serta urusan apa pun di mana keadaan
kekayaan badan hukum dapat menjadi lebih lemah.
Selain itu dibutuhkan juga izin dari Tahta Suci untuk
urusan yang melebihi jumlah yang ditetapkan Tahta Suci untuk masing-masing
wilayah.
§4: Perlunya Izin juga dari
Waligereja Setempat bagi Biara Mandiri dan Biara Tingkat Diosesan
Alasannya ialah waligereja setempat merupakan instansi
langsung tertinggi yang berhak mengawasinya, maka izin tertulis daripadanya
juga dibutuhkan untuk alienatio oleh
biara mandiri dan biara yang berstatus tingkat diosesan. Alienatio ini termasuk pengelolaan luar biasa.
6. Kan.
639 Tanggung jawab para biarawan yang melakukan kontrak keuangan
§1: Kontrak badan hukum
Dalam kanon ini dijelaskan badan
hukum (Biara atau Provinsi), mempunyai kewajiban penuh untuk bertanggung jawab
atas kontrak hutang dan beban keuangan yang telah dibuat, meskipun kontrak
hutang dan beban keuangan itu dibuat atas izin dari pimpinan. Dalam hal ini provinsi dan Biara tidak ikut
bertanggung jawab dalam kontak hutang dan beban keuangan tersebut.[22]
§2: Kontrak anggota
Dalam kontrak anggota ini, terdapat dua kemungkinan:
Pertama:
jika seorang anggota, atas kehendaknya membuat kontrak mengenai harta bendanya
sendiri dan dengan izin dari pimpinan, maka dia sendirilah yang harus
mempertanggungjawabkannya. Para anggota sebelum profesi bebas menyerahkan
pengelolaan harta benda kepada orang yang dikehendakinya dan menentukan dengan
bebas penggunaan serta pemanfaatannya, kecuali jika konstitusi menentukan lain
(Kan. 668).[23]
Kedua:
jika seorang anggota melaksanakan urusan lembaganya atas mandat pemimpin, maka
lembagalah yang harus mempertanggungjawabkan tugas yang diberikan tersebut.
Tetapi meskipun anggota tersebut tidak ikut bertanggunbngjawab secara penuh,
anggota tersebut tidak dapat sekehendaknya melepaskan tugas yang telah
diterimanya (Kan. 1289).[24]
§ 3: Kontrak biarawan tanpa
izin
Jika religius membuat
kontrak tanpa izin apapun dari Pemimpin, ia sendiri harus
mempertanggungjawabkan, dan bukan badan hukum.
Jika
seorang biarawan membuat kontrak tanpa izin apa pun dari Pemimpin, maka dia
sendirilah yang harus mempertanggungjawabkannya, bukan badan hukum.[25]
§ 4: Gugatan
Namun tetap berlaku
bahwa selalu dapat dajukan gugatan terhadap pihak yang menarik suatu keuntungan
dari kontrak yang diadakan itu.
Terhadap
seorang yang menarik keuntungan dari kontrak yang diadakan selalu dapat
diajukan gugatannya. Alasannya ialah : bahwa tidak boleh menarik keuntungan
bagi diri sendiri dengan merugikan orang lain. Maka ada hak untuk minta
restitusi.[26]
Tetapi sejauh hukum negara memungkinkan itu. Pengadilan Gerejani tak mempunyai
sarana untuk memaksakan keputusannya sendiri.
§ 5: Persyaratan untuk meminjam
uang
Para Pemimpin
religius hendaknya menjaga agar jangan mengizinkan membuat hutang, kecuali
pasti bahwa dari pendapatan yang biasa, bunga hutang itu dapat dibayar dan
dalam waktu yang tidak terlalu lama pokok utang dapat dikembalikan dengan
pelunasan legitim.
Para pemimpin religus
hendaknya menjaga agar jangan mengizinkan membuat hutang, kecuali jika pasti
bahwa :
a. Bunga hutang dapat dibayar dari pendapatan
yang biasa
b. Pokok hutang dapat dikembalikan
dengan pelunasan sah dalam waktu yang
tak terlalu lama.
Kanon 639 § 5 tidak menjelaskan secara spesifik waktu
pelunasan hutang. Dalam kasus pembangunan sebuah gedung/bangunan, daya tahan
yang diharapkan dari gedung tersebut bisa menjadi suaru pertimbangan. Secara
umum, periode 25 tahun tidaklah terlalu lama dalam kasus di atas. Dalam kasus
lain, seperti pembelian perabot atau kendaraan bermotor, periode tujuh tahun
dirasakan cukup untuk pelunasan utang. [27]
Kanon
639 tidak menjadi patokan keabsahan suatu hutang. Harus disadari bahwa suatu
administrasi umum tetap menjadi aturan yang harus diikuti.
7. Kan
640
Kesaksian cintakasih dan kemiskinan
Kan. 634 § 2 dan kan.
640 bersumber pada PC 13. Kan 634 § 2 mengutip secara lansung PC 13 sedangkan kan. 640 ini bersuber
pada PC 13 mengenai kesaksian kolektif kemiskinan dan cinta kasih. Lembaga
religius diingatkan akan segi-segi hakiki nasehat injili kemiskinan yang
diingkarkan dalam lembaga religius. Patut dicamkan bahwa dalam teks PC 13 dan
Kan 634 § 2 tak dipersoalkan benar tidaknya lembaga relegius itu mewah, serakah
dan meninbum kekayaan, melainkan bahkan kesan yang negatif itu saja sudah harus
dihindari. Mungkin saja kesan demikian itu, dan tuduhan yang ikut di akibatkan
kesan itu tidak benar dan tidak adil, tetapi nilai dan efektivitas kesaksian lembaga
relegius dilemahkan olehnya. Nasehat injili kemiskinan diikrarkan tidak hanya
untuk diri sendiri, melainkan juga sebagai kesaksian bagi dunia.
Kan
640 menekankan dua poin yang menjadi perhatian bagi lembaga relegius:
* Memberi kesaksian kolektif cinta kasih dan kemiskinan:
kiranya istilah kolektif bukan hanya
untuk menghindari kesan bahwa anggota secara individual memang miskin, tak
memiliki apa-apa (tetapi tak kekurangan apa-apa, karena biaranya atau
propinsinya kaya), tetapi secara kolektif lembaga relegius kaya, melainkan juga
karena sebagai kelompok dalam gereja lembaga relegius bertugas memberi kesaksian.
* cinta kasih kiranya harus dihubungkan dengan permintaan
agar lembaga relegius memberi sesuatu dari harta-miliknya, baik bagi kebutuhan
gereja, maupun guna membantu mereka yang berkekurangan.
Dalam PC
13 yang menjadi sumber kan
640 ini dianjurkan juga solidaritas antar lembaga, jadi membantu lembaga
relegius yang tak mampu. Dengan demikian dimensi sosial hak milik dan nasehat
injili kemiskinan yang diikrarkan dalam lembaga relegius tampak juga.
DAFTAR PUSTAKA
Go, Piet. Hukum Kanonik : Lembaga Hidup
Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan (KHK Kan.
573 – 746). Malang
: STFT Widya Sasana, 1984.
Morrisey, F.G. “Temporal Goods and Their Administration”
dalam Exegetical Commentary on the Code
of Canon Law Vol II/2, Angel Marzoa (ed.). Montreal dan Chicago: Wilson
& Lafleur dan Midwest Theological Forum, 2004.
Peraturan Hidup Kapusin, no. 59 Roma:
[tanpa penerbit], 1982.
Konsili
Vatikan II, “ Dekrit Perfectae Caritatis “, no 13, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Ende: Nusa Indah, 1970.
Sampang
Tumanggor, Yohanes. Tarekat Hidup Bakti:
Menurut Kitab Hukum Kanonik 1983. Medan: [tanpa penerbit], 2008 (Diktat).
[1] P. Go. Hukum Kanonik: Lembaga
Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, (Malang:[tanpa penerbit], 1984),
hlm.53.
[6] Konsili
Vatikan II, “ Dekrit Perfectae Caritatis “, no 13, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, ( Ende: Nusa Indah, 1970 ),
no. 13.
[15] Yohanes Sampang Tumanggor, Tarekat Hidup Bakti: Menurut Kitab Hukum Kanonik 1983. (Medan: [tanpa penerbit],
2008), hlm. 13. (Diktat).
[25] Bdk. CIC 1281 § 3, 1289,
1296.
[26] Restitution in integrum: peninjauan ulang secara keseluruhan ; naik
banding.
[27] F.G. Morrisey, “Temporal
Goods and Their Administration” dalam Exegetical
Commentary on the Code of Canon Law Vol II/2, Angel Marzoa (ed.) (Montreal
dan Chicago: Wilson & Lafleur dan Midwest Theological Forum), hlm. 1672.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar