I. Pendahuluan
a. Letak Geografis
Masih
ada orang beranggapan bahwa masyarakat Karo hanya tinggal di Kabupaten Karo
saja. Padahal Suku Karo mendiami suatu daerah yang meliputi Dataran
Tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu dan sebagian dari Dairi.
Terpisahnya wilayah masyarakat Karo disebabkan oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor internalnya ialah pertikaian atau perselisihan antara desa.
Faktor eksternalnya ialah politik devide et impera Belanda yang
memisahkan orang-orang Karo dalam sistem administrasi pemerintahan yang
berbeda. Namun perbedaan antara budaya Karo pada tempat yang berbeda adalah
perbedaan yang bersifat instrumental dan bukan perbedaan yang bersifat
fundamental.
Bentuk dataran tinggi Kabupaten Karo
menyerupai sebuah kuali yang sangat besar karena dikelilingi oleh pegunungan
dengan ketinggian 140-1400 m dpl, yang terhampar di punggung Bukit Barisan.
Kabupaten Karo memiliki beberapa gunung, di antaranya gunung Barus, Pinto, Sibayak, Simole,
Sinabung dan Sibuaten. Dari semua gunung itu Sibayak dan Sinabung merupakan
gunung yang aktif.
b. Mata Pencarian
Mata pencarian utama masyarakat Karo
umumnya adalah bertani. Masyarakat Karo biasanya menanam jeruk, cengkeh,
palawija, kentang, dll. Tanah Karo merupakan pusat holtikultura.
II. Struktur Masyarakat
a. Marga
Marga menurut beberapa tokoh berasal
dari kata “meherga” yang berarti berharga atau mahal. Hal ini menimbulkan suatu
pandangan dalam masyasrakat Karo bahwa orang yang memiliki marga adalah orang
yang terpandang, jelas asal-usulnya sedangkan orang yang tidak bermarga adalah
orang asing. Sudah sejak dahulu marga dan beru
dikenal dalam masyarakat Karo. Marga digunakan untuk laki-laki sedangkan untuk
perempuan digunakan beru. Marga seorang anak diturunkan oleh orang tuanya
laki-laki (garis keturunan Patrineal).
Marga itu sangat penting.
Tokoh-tokoh Karo mengemukakan alasan mengapa marga itu dibutuhkan. Memang masih
seputar pengetahuan, apakah seseorang itu orang asing atau tidak. Hal ini
diceritakan demikian: dulu jalan antar satu kampung dengan kampung lain hanya
dihubungkan dengan jalan setapak. Di kiri-kanan jalan itu masih terdapat hutan.
Penduduk kampung yang satu dengan kampung yang lain tidak saling kenal dan
tidak jarang ketika berpapasan dengan orang yang berasal dari kampung sebelah
tidak saling sapa. Salah satu jalan untuk mengadakan sosialisasi kepada sesama
adalah dengan membentuk marga. Setiap orang memakai marga tertentu, apabila
berpapasan di jalan maka antara yang satu dengan yang lain saling sapa dengan
menyebutkan marga. Misalnya, seseorang bertanya kepada yang lain, siapa kau?
Jawabnya aku Tarigan, Ginting, Sembiring dst. Orang yang menjawab dan orang
yang ditanya dapat diketahui bukanlah orang asing.
Seiring dengan perkembangan zaman,
akhirnya marga itu memiliki nilai dan manfaat yang besar. Nilai dan manfaat
yang diperoleh yakni:
1.
Marga membuat seorang anggota masyarakat dihargai,
disegani dan dihormati.
2.
Sebagai tanda pengenal bagi orang Karo
3.
Sebagai tanda garis keturunan dalam orang Karo.
4.
Bagian atau unsur yang terdapat dalam pemilikan dan
pewarisan pada suku Karo
5.
Menunjukkan posisi atas sangkut-paut keluarga dan
lingkungan secara langsung dan tidak langsung.
Lima golongan marga dalam masyarakat Karo:
a.
Karo-karo
b.
Ginting
c.
Sembiring
d.
Perangin-angin
e.
Tarigan
Pendapat para tokoh masyarakat
mengenai lima
marga yang ada dalam karo ini mau mengatakan sesuai dengan jumlah jari, dan
mudah diingat. Marga induk ini memiliki sub-sub yang tertera di bawah ini:
1. Karo-karo terdiri dari: Sekali, Kemit, Samura,
Sitepu, Sinuhaji, Sinuraya, Sinulingga, Bukit, Barus, Kaban, Purba, Kacaribu,
Ketaren, Sinukaban, Surbakti, Sinubulan, Gurusinga, jung, Manik, Torong.
2. Marga Ginting terdiri dari: Suka, Suihen, Seragih,
Sinusinga, Munte, Manik, Babo, Beras, Garamata, Gurpatih, Ajinembah, Jawak,
Jadibata, Tumangger, Capah, Pase.
3. Marga Sembiring terdiri dari: Berahmana, Meliala,
Muham, Pandia, Pelawi, Depari, Colia, Tekang, Gurukinayan, Bunuaji, Kelking,
Kembaren, Keloko, Sipayung, Sinuaki, Bhusuk, Sinukapar.
4. Marga Perangin-angin terdiri dari: Kacinambun,
Bangun, Pinem, Perbesi, Sukatendel, Singarimbun, Pencawan, Keliat, Kutabuluh,
Sebayang, Ullunjandi, Benjereng, Mano, Namohaji, Uwir, Laksa, Panggarun,
Sinurat.
5. Marga Tarigan terdiri dari: Tua, Tegur, Tambun,
Tendang, Tambak, Gersang, Gerneng, Gana-gana, Purba, Pekan, Sibero, Silangit,
Janpang, Bondong.
Sub marga mengalami
pertambahan/peningkatan karena masuknya suku-suku lain ke dalam suku Karo dan
berasimilasi dengan kebudayaan, marga orng Karo.
b. Sistem
kekerabatan Karo
Sistem ini sangat luas dan mendalam inilah kendala utama untuk memberikan
pemaparan. Sistem kekerabatan dalam masyasrakat Karo adalah elemen penting yang
berintegerasi dengan hidup. Sistem kekerabatan ini juga menunjukkan kepedulian
dan rasa cinta, sistem kekerabatan inilah yang membentuk masyarakat Karo
sebagai suatu keluarga.
Sistem kekerabatan ini terbentuk karena ada perkawinan antar marga yang
satu dengan yang lain atau antara marga dengan sub marga yang berujung ada
kelahiran keturunan. Mereka membentuk keluarga baru. Dalam suatu perkawinan
keluarga pihak laki-laki dinamakan “anak beru” oleh keluarga perempuan.
Sedangkan keluarga perempuan dinamakan “kalimbubu” oleh pihak keluarga
laki-laki. Faktor ini yang membuat persaudaraan dalam suku Karo semakin meluas.
Maka muncullah sistem kekerabatan yang dikenal dengan istilah Sangkep Nggeluh atau sangkep Sitelu.
c. Sangkep
Nggeluh atau Sangkep Sitelu
Sangkep nggeluh yang berarti kelengkapan
hidup. Sering juga disebut sangkep
sitelu artinya kelengkapan dari tiga unsur keluarga. Sangkep nggeluh membahas suatu rencana kerja menyangkut kegiatan
dalam keluarga, apa yang diperoleh dari masyarakat itulah yang dilaksanakan
oleh anak beru sukut.
d. Unsur-unsur sangkep nggeluh
1. Sukut (sembuyak/senina)
Sukut/sembuyak/senina dimaksudkan dalam sukut itu termasuk sembuyak dan
senina. Misalnya keluarga si A sebagai sukut (tuan rumah) maka didalamnya turut
sembuyak dan seninanya.
-Sembuyak
artinya saudara kandung; satu perut dalam satu ayah dan satu ibu.
- Senina artinya
saudara, karena satu nenek, dalam hal ini dari pihak ayah.
2. Kalimbubu
Kalimbubu ialah pihak keluarga
perempuan yang dikawini. Dalam hal ini bila pihak kita kawin dengan seorang
perempuan, maka keluarga pihak perempuan adalah kalimbubu kita. Disebabkan ada perkawinan tersebut maka nenek,
ayah dan anak-anaknya semua telah jadi golongan kalimbubu. Dalam adat Karo kedudukan kalimbubu sangat dihormati, malahan disebutkan dengan istilah
“Dibata teridah”, artinya Allah yang kelihatan.
3. Anak Beru
Anak beru adalah pihak keluarga laki-laki yang kawin atau mengambil anak
perempuan suatu keluarga.Contoh: keluarga A kawin dengan anak perempuan
keluarga B maka kelauarga A menjadi anak beru keluarga B. padahal sebelumnya keluarga
B telah memiliki anak beru secara berjenjang atau menurut tingkatan.
e. Kemasyarakatan
Masyarakat Karo mengenal suatu
struktur kemasyarakatan yang disebut kuta. Segala sesuatu yang
menyangkut kepentingan bersama dengan melibatkan masyarakat secara kekeluargaan
dengan didahului dengan runggu (musyawarah). Masyarakat Karo mempunyai
perbedaan golongan dalam bermasyarakat yang berkaitan dengan sejarah dan
keturunan keluarga. Perbedaan golongan itu ada 3:
- Bangsa Taneh atau Anak Taneh, merupakan golongan yang pertama menempati suatu kawasan tanah dan kemudian menjadi pendiri kampung dan penguasa di tempat itu.
- Ginemgem, merupakan golongan yang diayomi dan direstui oleh golongan Bangsa Taneh. Golongan ini masih mempunyai hubungan keluarga dengan golongan Bangsa Taneh.
- Rayat Derip, merupakan golongan yang tinggal di suatu kampung sebagai penduduk biasa.
III. Sifat Orang Karo
1. Dimensi Psikologis
Dimensi ini menyatakan bahwa orang
Karo adalah pemarah, pendendam dan mengutamakan harga diri. “carana e nge ateku
lang” merupakan ungkapan harga diri yang tidak dapat ditawar
2. Dimensi Sosiologis
Dimensi sosiologis menyatakan bahwa
orang Karo adalah pengasih, pemurah, pengertian dan suka menolong. Hal ini
dapat dilihat dalam budaya aron, yaitu suatu budaya kerja sama.
3. Dimensi Ekonomi
Dimensi Ekonomi menyatakan bahwa
orang Karo adalah hemat dan berjuang mengumpulkan uang dan harta demi
kepentingan prestise.
4. Dimensi Teologis
Dimensi teologis menyatakan
bahwa orang Karo percaya kepada Tuhan.
Agama pertama yang dianut oleh orang Karo adalah pemena.
IV. NJUJUNGI BERAS PIHER
a.
Pengertian
Njunjungi
beras piher adalah upacara di mana dukun atau guru sibaso, (biasanya wanita) sebagai perantara roh orang yang
sudah meninggal dengan orang yang masih hidup, [1]menghamburkan
beras piher (beras putih) ke atas
kepala seseorang atau sekelompok orang, yang dipestakan.[2]
Kegiatan ini merupakan upacara dari kebudayaan Karo yang berhubungan dengan
relgi. Masyarakat Karo sering mengadakan acara ini, karena berbagai harapan, dan
situasi yang mereka alami (penderitaan atau kemalangan).
b. Peralatan
Sarana-sarana (peralatan)
yang digunakan memiliki arti yang akan berpengaruh pada makna dari kegiatan
ini, antara lain :
a. Beras piher (beras putih) melambangkan keharmonisan,keseimbangan
dan kejujuran
b. Mangkok mbentar (panci putih)
c. Sumpit pernakanen mbentar (tempat nasi)
d. Uis Ariteneng (kain adat Karo) melambangkan ketentraman
e. Belo ras kuhna (belo bujur) (sirih dan
campurannya, ungkapan terima kasih) kepada Tuhan yang Maha Kuasa
f.
Tumba rumpu
kuling-kuling (kulit binatang)
melambangkan kekeluargaan
g. Lada (lada) melambangkan persatuan
h.
Sira (garam)
melambangkan kewibawaan.[3]
i.
Naruh (telur)
melambangkan pengaruh
c. Ritus[4]
Ritus njungjungi beras piher memiliki perbedaan, tergantung siapa yang menjadi
objek ritus ini. Ritus njungjungi beras piher yang dilakukan
untuk laki-laki berbeda dengan ritus yang dilaksanakan untuk perempuan.
a.
Ritus njungjungi
beras piher untuk laki-laki. Pelaksanaanya adalah:
1.
Kalimbubu,
saudara laki-laki ister/pihak keluarga dari isteri pelaksanaanya dari kaum
wanita ialah simaba kulau, yang membawa
ke air supaya kam perembah kalimbubu,
ula sirang lau ras beras, (engkau menghargai saudara laki-laki isteri seperti
air dan beras tidak berpisah).[5]
2.
Puang kalimbubu,
isteri (pelaksananaya wanita)[6]
3.
Anak beru, anak
perempuan/kelompok penerima perempuan yang bertugas untuk menyiapkan segala
sesuatunya untuk keperluan dalam pelaksanaan pesta, (pelaksanaanya wanita,
dan lain-lain).[7]
b. Ritus njung-jungi beras piher untuk perempuan. Pelaksanaanya adalah:
1.
Bibi pihak anak beru ( bibi orang yang bertugas)
2.
Kalimbubu pelaksana
pihak wanita
3.
Puang kalimbubu
pelaksana pihak wanita, dan lain-lain.
Sukut
(semarga) tidak ikut meletakan beras
piher kepada saudaranya, melainkan ia duduk bersama dengan mereka, dan
mendapat hal sama dengan senina
(saudara) itu. Ada
sedikit perbedaan dengan Karo Langkat, orang Karo di Langkat melakukan hal yang
berbeda dengan masyarakat Tanah Karo. Orang yang semarga di Langkat, ikut
menaburkan beras di kepala saudaranya (orang yang dipestakan, abang atau
adiknya). Tata cara untuk setiap usia sangat berbeda. Kami akan coba untuk
menguraikan njungjungi beras piher untuk orang dewasa. Ritualnya adalah sebagai
berikut: Orang yang akan dijungjungi
beras piher duduk di amak mbentar
(tikar berwarna putih). Maka datanglah orang yang sudah ditentukan supaya
menaburkan beras di kepala pestawan, sekaligus mengungkapkan harapan-harapan
kepada orang tersebut. Apa yang diucapkan tergantung dari orang yang
memohonkannya.
d. Tujuanya
Tujuan upacara ini, bisa dikatakan
bersifat multifungsi. Upacara ini kerap kali diarahkan untuk bersyukur kepada roh para leluhur, yang berperan besar dalam kesuksesan manusia.
Selain bersyukur karena apa yang
diharapkan sudah terkabul, ada juga tujuan yang diharapkan. Pada umumnya tujuan
di setiap daerah tidak jauh berbeda dengan daerah lain, seperti yang tertera di
bawah ini :
1. Gelah ersada tendi ku rumah artinya
bersatu roh ke rumah(ke tempatnya).[8]
2. Ula erdua-dua ukur muat si mehuli artinya
jangan dua pikiran untuk mencapi kebaikan
3. Taluken pinakit tauiken si rukur la mehuli artinya
kalahkan penyakit kalahkan orang yang berpikiran tidak baik.
4. Selpat nipi gulut, selpat liah-liah, banga
kelesa artinya lepas mimpi buruk lepas unsur dosa
5. Ertima tendi i rumah artinya menunggu
roh di rumah
6. Gelem bekas latih gelem kini bayaken artinya
pegang hasil jerih payah pegang kekayaan.
7. Pitut perukuren-perukuren si la mehuli pitut
bahan-bahanen nulak si la mehuli pitut liah-liah, artinya tertutup pikiran
yang tidak baik, tertutup perbuatan tidak baik terhadap orang lain, tertutup
nasib sial.
8. Erngaruh ku sinterem, erngaruh ku sangkep
geluh, erngaruh ku kade-kade artinya beramal kepada khalayak ramai, beramal
kepada sangkep geluh dan beramal kepada keluarga.
9. Nilah krina pinakit, nilah entem nu begu,
nilah gerek-gereken si la mehuli artinya tersingkir semua penyakit,
tersingkir maksud setan, tersingkir pertanda tidak baik.
10. Bunuh musuh, bunuh singgas-gasi, bunuh
perukuren si lamehuli artinya bunuh musuh,bunuh yang menganggu, bunuh
maksud jahat
11. Ersada tendi i rumah, ersada ukurta kerina
ku simehuli bersatu semua yang baik dan bersatu semua keingingan kita
kepada hal yang baik).[9]
V. Makna Filosofis atas kegiatan ini
·
Masyarakat Karo cukup peka terhadap siapa saja
yang datang ke desa atau rumah mereka. Tamu yang datang akan disambut dengan
upacara ini yaitu menghamburkan beras
piher di atas kepala tamu yang datang. Ungkapan-ungkapan yang mau
disampaikan tergantung pada orang yang menghamburkan beras itu. Biasanya untuk
orang yang datang diungkapkan harapan-harapan, supaya ia memenuhi apa yang
dikehendaki, oleh orang yang memintakan upacara itu diselenggarakan.
·
Sedangkan orang yang berangkat jauh juga
diletakan beras piher di atas kepala mereka, supaya mereka semakin semangat dan
memiliki ikatan yang dekat dan kuat dengan keluarga yang ditinggalkannya hal
ini dapat digambarkan dengan memakai perumpamaan orang yang menanak nasi
(seperti air dengan beras) yang sudah menyatu.
·
Seperti makna dari alat-alat itu. Agar menjadi
orang yang harmonis dengan sesama, seimbang dalam hidupnya dan selalu jujur.
Memberikan pengaruh di mana ia berada, pengaruh yang baik. Berwibawa dan
menjunjung persatuan. Serta bersyukur
kepada Tuhan.
Bibliografi
- Sitepu, Sempa dkk. Pilar Budaya Karo, Medan: Bali Scan, 1996.
- Gintings, E.P, Relegi Karo. Membaca Relegi Karo dengan Mata yang Baru, Kabanjahe: Abdi Karya, 2002.
- Prinst, Darwin. Kamus Karo Indonesia, Medan : Bina Media, 2002.
[1]
Darwin Prinst, Kamus Karo Indonesia, Medan : Bina Media, 2002,
hlm. 225.
[2]E.P.Gintings, Relegi Karo, Membaca Relegi Karo dengan
Mata yang Baru, Kabanjahe: Abdi Karya, 2002, hlm. 89.
[4]
Sempa Sitepu, dkk, Pilar Budaya Karo, Medan:
Bali Scan, 1996, hlm. 168.
[5]
Darwin Prinst, Kamus Karo …,hal 276.
[6]
Darwin Prinst, Kamus Karo… ,hal 482.
[7]
Darwin Prinst, Kamus Karo …,hal 19.
[8]
Sempa Sitepu dkk, Pilar Budaya…, hal
168-168.
[9]
E.P.Gintings, Relegi Karo…,hlm. 94.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar