Sabtu, 26 Mei 2012

NJUJUNGI BERAS PIHER Suatu Tinjauan Filosofis Oleh: Jani Anwar, Valent Cristian Sihotang dan Roma Tarigan



I. Pendahuluan

a. Letak Geografis

            Masih ada orang beranggapan bahwa masyarakat Karo hanya tinggal di Kabupaten Karo saja. Padahal Suku Karo mendiami suatu daerah yang meliputi Dataran Tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu dan sebagian dari Dairi. Terpisahnya wilayah masyarakat Karo disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internalnya ialah pertikaian atau perselisihan antara desa. Faktor eksternalnya ialah politik devide et impera Belanda yang memisahkan orang-orang Karo dalam sistem administrasi pemerintahan yang berbeda. Namun perbedaan antara budaya Karo pada tempat yang berbeda adalah perbedaan yang bersifat instrumental dan bukan perbedaan yang bersifat fundamental.
            Bentuk dataran tinggi Kabupaten Karo menyerupai sebuah kuali yang sangat besar karena dikelilingi oleh pegunungan dengan ketinggian 140-1400 m dpl, yang terhampar di punggung Bukit Barisan. Kabupaten Karo memiliki beberapa gunung, di antaranya  gunung Barus, Pinto, Sibayak, Simole, Sinabung dan Sibuaten. Dari semua gunung itu Sibayak dan Sinabung merupakan gunung yang aktif.

b. Mata Pencarian
            Mata pencarian utama masyarakat Karo umumnya adalah bertani. Masyarakat Karo biasanya menanam jeruk, cengkeh, palawija, kentang, dll. Tanah Karo merupakan pusat holtikultura.



II. Struktur Masyarakat
a. Marga
            Marga menurut beberapa tokoh berasal dari kata “meherga” yang berarti berharga atau mahal. Hal ini menimbulkan suatu pandangan dalam masyasrakat Karo bahwa orang yang memiliki marga adalah orang yang terpandang, jelas asal-usulnya sedangkan orang yang tidak bermarga adalah orang asing. Sudah sejak dahulu marga dan beru dikenal dalam masyarakat Karo. Marga digunakan untuk laki-laki sedangkan untuk perempuan digunakan beru. Marga seorang anak diturunkan oleh orang tuanya laki-laki (garis keturunan Patrineal).
            Marga itu sangat penting. Tokoh-tokoh Karo mengemukakan alasan mengapa marga itu dibutuhkan. Memang masih seputar pengetahuan, apakah seseorang itu orang asing atau tidak. Hal ini diceritakan demikian: dulu jalan antar satu kampung dengan kampung lain hanya dihubungkan dengan jalan setapak. Di kiri-kanan jalan itu masih terdapat hutan. Penduduk kampung yang satu dengan kampung yang lain tidak saling kenal dan tidak jarang ketika berpapasan dengan orang yang berasal dari kampung sebelah tidak saling sapa. Salah satu jalan untuk mengadakan sosialisasi kepada sesama adalah dengan membentuk marga. Setiap orang memakai marga tertentu, apabila berpapasan di jalan maka antara yang satu dengan yang lain saling sapa dengan menyebutkan marga. Misalnya, seseorang bertanya kepada yang lain, siapa kau? Jawabnya aku Tarigan, Ginting, Sembiring dst. Orang yang menjawab dan orang yang ditanya dapat diketahui bukanlah orang asing.  
            Seiring dengan perkembangan zaman, akhirnya marga itu memiliki nilai dan manfaat yang besar. Nilai dan manfaat yang diperoleh yakni:
1.      Marga membuat seorang anggota masyarakat dihargai, disegani dan dihormati.
2.      Sebagai tanda pengenal bagi orang Karo
3.      Sebagai tanda garis keturunan dalam orang Karo.
4.      Bagian atau unsur yang terdapat dalam pemilikan dan pewarisan pada suku Karo
5.      Menunjukkan posisi atas sangkut-paut keluarga dan lingkungan secara langsung dan tidak langsung.
Lima golongan marga dalam masyarakat Karo:
a.       Karo-karo
b.      Ginting
c.       Sembiring
d.      Perangin-angin
e.       Tarigan
            Pendapat para tokoh masyarakat mengenai lima marga yang ada dalam karo ini mau mengatakan sesuai dengan jumlah jari, dan mudah diingat. Marga induk ini memiliki sub-sub yang tertera di bawah ini:
1. Karo-karo terdiri dari: Sekali, Kemit, Samura, Sitepu, Sinuhaji, Sinuraya, Sinulingga, Bukit, Barus, Kaban, Purba, Kacaribu, Ketaren, Sinukaban, Surbakti, Sinubulan, Gurusinga, jung, Manik, Torong.
2. Marga Ginting terdiri dari: Suka, Suihen, Seragih, Sinusinga, Munte, Manik, Babo, Beras, Garamata, Gurpatih, Ajinembah, Jawak, Jadibata, Tumangger, Capah, Pase.
3. Marga Sembiring terdiri dari: Berahmana, Meliala, Muham, Pandia, Pelawi, Depari, Colia, Tekang, Gurukinayan, Bunuaji, Kelking, Kembaren, Keloko, Sipayung, Sinuaki, Bhusuk, Sinukapar.
4. Marga Perangin-angin terdiri dari: Kacinambun, Bangun, Pinem, Perbesi, Sukatendel, Singarimbun, Pencawan, Keliat, Kutabuluh, Sebayang, Ullunjandi, Benjereng, Mano, Namohaji, Uwir, Laksa, Panggarun, Sinurat.
5. Marga Tarigan terdiri dari: Tua, Tegur, Tambun, Tendang, Tambak, Gersang, Gerneng, Gana-gana, Purba, Pekan, Sibero, Silangit, Janpang, Bondong.
            Sub marga mengalami pertambahan/peningkatan karena masuknya suku-suku lain ke dalam suku Karo dan berasimilasi dengan kebudayaan, marga orng Karo.

b. Sistem kekerabatan Karo
Sistem ini sangat luas dan mendalam inilah kendala utama untuk memberikan pemaparan. Sistem kekerabatan dalam masyasrakat Karo adalah elemen penting yang berintegerasi dengan hidup. Sistem kekerabatan ini juga menunjukkan kepedulian dan rasa cinta, sistem kekerabatan inilah yang membentuk masyarakat Karo sebagai suatu keluarga.
Sistem kekerabatan ini terbentuk karena ada perkawinan antar marga yang satu dengan yang lain atau antara marga dengan sub marga yang berujung ada kelahiran keturunan. Mereka membentuk keluarga baru. Dalam suatu perkawinan keluarga pihak laki-laki dinamakan “anak beru” oleh keluarga perempuan. Sedangkan keluarga perempuan dinamakan “kalimbubu” oleh pihak keluarga laki-laki. Faktor ini yang membuat persaudaraan dalam suku Karo semakin meluas. Maka muncullah sistem kekerabatan yang dikenal dengan istilah Sangkep Nggeluh atau sangkep Sitelu.



c. Sangkep Nggeluh atau Sangkep Sitelu
Sangkep nggeluh yang berarti kelengkapan  hidup. Sering juga disebut sangkep sitelu artinya kelengkapan dari tiga unsur keluarga. Sangkep nggeluh membahas suatu rencana kerja menyangkut kegiatan dalam keluarga, apa yang diperoleh dari masyarakat itulah yang dilaksanakan oleh anak beru sukut.

d. Unsur-unsur sangkep nggeluh
1.      Sukut (sembuyak/senina)
Sukut/sembuyak/senina dimaksudkan dalam sukut itu termasuk sembuyak dan senina. Misalnya keluarga si A sebagai sukut (tuan rumah) maka didalamnya turut sembuyak dan seninanya.
-Sembuyak artinya saudara kandung; satu perut dalam satu ayah dan satu ibu.
- Senina artinya saudara, karena satu nenek, dalam hal ini dari pihak ayah. 
2. Kalimbubu
Kalimbubu ialah pihak keluarga perempuan yang dikawini. Dalam hal ini bila pihak kita kawin dengan seorang perempuan, maka keluarga pihak perempuan adalah kalimbubu kita. Disebabkan ada perkawinan tersebut maka nenek, ayah dan anak-anaknya semua telah jadi golongan kalimbubu. Dalam adat Karo kedudukan kalimbubu sangat dihormati, malahan disebutkan dengan istilah “Dibata teridah”, artinya Allah yang kelihatan.
3. Anak Beru
Anak beru adalah pihak keluarga laki-laki yang kawin atau mengambil anak perempuan suatu keluarga.Contoh: keluarga A kawin dengan anak perempuan keluarga B maka kelauarga A menjadi anak beru keluarga B. padahal sebelumnya keluarga B telah memiliki anak beru secara berjenjang atau menurut tingkatan.
e.  Kemasyarakatan
            Masyarakat Karo mengenal suatu struktur kemasyarakatan yang disebut kuta. Segala sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama dengan melibatkan masyarakat secara kekeluargaan dengan didahului dengan runggu (musyawarah). Masyarakat Karo mempunyai perbedaan golongan dalam bermasyarakat yang berkaitan dengan sejarah dan keturunan keluarga. Perbedaan golongan itu ada 3:
  1. Bangsa Taneh atau Anak Taneh, merupakan golongan yang pertama menempati suatu kawasan tanah dan kemudian menjadi pendiri kampung dan penguasa di tempat itu.
  2. Ginemgem, merupakan golongan yang diayomi dan direstui oleh golongan Bangsa Taneh. Golongan ini masih mempunyai hubungan keluarga dengan golongan Bangsa Taneh.
  3. Rayat Derip, merupakan golongan yang tinggal di suatu kampung sebagai penduduk biasa.

III. Sifat Orang Karo
1. Dimensi Psikologis
            Dimensi ini menyatakan bahwa orang Karo adalah pemarah, pendendam dan mengutamakan harga diri. “carana e nge ateku lang” merupakan ungkapan harga diri yang tidak dapat ditawar
2. Dimensi Sosiologis
            Dimensi sosiologis menyatakan bahwa orang Karo adalah pengasih, pemurah, pengertian dan suka menolong. Hal ini dapat dilihat dalam budaya aron, yaitu suatu budaya kerja sama.
3. Dimensi Ekonomi
            Dimensi Ekonomi menyatakan bahwa orang Karo adalah hemat dan berjuang mengumpulkan uang dan harta demi kepentingan prestise.
4. Dimensi Teologis
            Dimensi teologis menyatakan bahwa  orang Karo percaya kepada Tuhan. Agama pertama yang dianut oleh orang Karo adalah pemena.

IV. NJUJUNGI BERAS PIHER
a. Pengertian
            Njunjungi beras piher adalah upacara di mana dukun atau guru sibaso, (biasanya wanita) sebagai perantara roh orang yang sudah meninggal dengan orang yang masih hidup, [1]menghamburkan beras piher (beras putih) ke atas kepala seseorang atau sekelompok orang, yang dipestakan.[2] Kegiatan ini merupakan upacara dari kebudayaan Karo yang berhubungan dengan relgi. Masyarakat Karo sering mengadakan acara ini, karena berbagai harapan, dan situasi yang mereka alami (penderitaan atau kemalangan).
b. Peralatan
         Sarana-sarana (peralatan) yang digunakan memiliki arti yang akan berpengaruh pada makna dari kegiatan ini, antara lain :
a.      Beras piher (beras putih) melambangkan keharmonisan,keseimbangan dan kejujuran
b.      Mangkok mbentar (panci putih)
c.       Sumpit pernakanen mbentar (tempat nasi)
d.      Uis Ariteneng (kain adat Karo) melambangkan ketentraman
e.       Belo ras kuhna (belo bujur) (sirih dan campurannya, ungkapan terima kasih) kepada Tuhan yang Maha Kuasa
f.        Tumba rumpu kuling-kuling (kulit binatang)  melambangkan kekeluargaan
g.      Lada (lada) melambangkan persatuan
h.      Sira (garam) melambangkan kewibawaan.[3]
i.        Naruh (telur) melambangkan pengaruh
c. Ritus[4]
            Ritus njungjungi beras piher memiliki perbedaan, tergantung siapa yang menjadi objek ritus ini.  Ritus njungjungi beras piher yang dilakukan untuk laki-laki berbeda dengan ritus yang dilaksanakan untuk perempuan.
a.       Ritus njungjungi beras piher untuk laki-laki. Pelaksanaanya adalah:
1.      Kalimbubu, saudara laki-laki ister/pihak keluarga dari isteri pelaksanaanya dari kaum wanita ialah simaba kulau, yang membawa ke air supaya kam perembah kalimbubu, ula sirang lau ras beras, (engkau menghargai saudara laki-laki isteri seperti air dan beras tidak  berpisah).[5]
2.      Puang kalimbubu, isteri (pelaksananaya wanita)[6]
3.      Anak beru, anak perempuan/kelompok penerima perempuan yang bertugas untuk menyiapkan segala sesuatunya untuk keperluan dalam pelaksanaan pesta, (pelaksanaanya wanita, dan lain-lain).[7]
b. Ritus njung-jungi beras piher untuk perempuan. Pelaksanaanya adalah:
1.      Bibi pihak anak beru ( bibi orang yang bertugas)
2.      Kalimbubu pelaksana pihak wanita
3.      Puang kalimbubu pelaksana pihak wanita, dan lain-lain.
            Sukut (semarga) tidak ikut meletakan beras piher kepada saudaranya, melainkan ia duduk bersama dengan mereka, dan mendapat hal sama dengan senina (saudara) itu. Ada sedikit perbedaan dengan Karo Langkat, orang Karo di Langkat melakukan hal yang berbeda dengan masyarakat Tanah Karo. Orang yang semarga di Langkat, ikut menaburkan beras di kepala saudaranya (orang yang dipestakan, abang atau adiknya). Tata cara untuk setiap usia sangat berbeda. Kami akan coba untuk menguraikan njungjungi beras piher untuk orang dewasa. Ritualnya adalah sebagai berikut: Orang yang akan dijungjungi beras piher duduk di amak mbentar (tikar berwarna putih). Maka datanglah orang yang sudah ditentukan supaya menaburkan beras di kepala pestawan, sekaligus mengungkapkan harapan-harapan kepada orang tersebut. Apa yang diucapkan tergantung dari orang yang memohonkannya.

d. Tujuanya
            Tujuan upacara ini, bisa dikatakan bersifat multifungsi. Upacara ini kerap kali diarahkan  untuk bersyukur kepada roh para leluhur, yang berperan besar dalam kesuksesan manusia. Selain  bersyukur karena apa yang diharapkan sudah terkabul, ada juga tujuan yang diharapkan. Pada umumnya tujuan di setiap daerah tidak jauh berbeda dengan daerah lain, seperti yang tertera di bawah ini :
1.      Gelah ersada tendi ku rumah artinya bersatu roh ke rumah(ke tempatnya).[8]
2.      Ula erdua-dua ukur muat si mehuli artinya jangan dua pikiran untuk mencapi kebaikan
3.      Taluken pinakit tauiken si rukur la mehuli artinya kalahkan penyakit kalahkan orang yang berpikiran tidak baik.
4.      Selpat nipi gulut, selpat liah-liah, banga kelesa artinya lepas mimpi buruk lepas unsur dosa
5.      Ertima tendi i rumah artinya menunggu roh di rumah
6.      Gelem bekas latih gelem kini bayaken artinya pegang hasil jerih payah pegang kekayaan.
7.      Pitut perukuren-perukuren si la mehuli pitut bahan-bahanen nulak si la mehuli pitut liah-liah, artinya tertutup pikiran yang tidak baik, tertutup perbuatan tidak baik terhadap orang lain, tertutup nasib sial.
8.      Erngaruh ku sinterem, erngaruh ku sangkep geluh, erngaruh ku kade-kade artinya beramal kepada khalayak ramai, beramal kepada sangkep geluh dan beramal kepada keluarga.
9.      Nilah krina pinakit, nilah entem nu begu, nilah gerek-gereken si la mehuli artinya tersingkir semua penyakit, tersingkir maksud setan, tersingkir pertanda tidak baik.  
10.  Bunuh musuh, bunuh singgas-gasi, bunuh perukuren si lamehuli artinya bunuh musuh,bunuh yang menganggu, bunuh maksud jahat   
11.  Ersada tendi i rumah, ersada ukurta kerina ku simehuli bersatu semua yang baik dan bersatu semua keingingan kita kepada hal yang baik).[9]

V. Makna Filosofis atas kegiatan ini

·                     Masyarakat Karo cukup peka terhadap siapa saja yang datang ke desa atau rumah mereka. Tamu yang datang akan disambut dengan upacara ini yaitu menghamburkan beras piher di atas kepala tamu yang datang. Ungkapan-ungkapan yang mau disampaikan tergantung pada orang yang menghamburkan beras itu. Biasanya untuk orang yang datang diungkapkan harapan-harapan, supaya ia memenuhi apa yang dikehendaki, oleh orang yang memintakan upacara itu diselenggarakan.
·   Sedangkan orang yang berangkat jauh juga diletakan beras piher di atas kepala mereka, supaya mereka semakin semangat dan memiliki ikatan yang dekat dan kuat dengan keluarga yang ditinggalkannya hal ini dapat digambarkan dengan memakai perumpamaan orang yang menanak nasi (seperti air dengan beras) yang sudah menyatu.
·   Seperti makna dari alat-alat itu. Agar menjadi orang yang harmonis dengan sesama, seimbang dalam hidupnya dan selalu jujur. Memberikan pengaruh di mana ia berada, pengaruh yang baik. Berwibawa dan menjunjung persatuan.  Serta bersyukur kepada Tuhan.
 



                              Bibliografi
  1. Sitepu, Sempa dkk. Pilar Budaya Karo, Medan: Bali Scan, 1996.
  2. Gintings, E.P, Relegi Karo. Membaca Relegi Karo dengan Mata yang Baru, Kabanjahe: Abdi Karya, 2002.
  3. Prinst, Darwin. Kamus Karo Indonesia, Medan : Bina Media, 2002.



[1] Darwin Prinst, Kamus Karo Indonesia, Medan : Bina Media, 2002, hlm. 225.

[2]E.P.Gintings, Relegi Karo, Membaca Relegi Karo dengan Mata yang Baru, Kabanjahe: Abdi Karya, 2002, hlm. 89.


[4] Sempa Sitepu, dkk, Pilar Budaya Karo,  Medan: Bali Scan, 1996, hlm. 168.
[5] Darwin Prinst, Kamus Karo  …,hal 276.
[6] Darwin Prinst, Kamus Karo… ,hal 482.
[7] Darwin Prinst, Kamus Karo …,hal 19.
[8] Sempa Sitepu dkk,  Pilar Budaya…, hal 168-168.

[9] E.P.Gintings, Relegi Karo…,hlm. 94.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar