NDILO UARI UDAN
( Memanggil Hujan )
A. Pengertian
Ritual
Ndilo Uari Udan merupakan kebiasaan
masyarakat Karo pada saat terjadi kemarau yang panjang. Kebiasaan atau adat ini
bertujuan untuk menurunkan hujan. Ndilo Uari
Udan adalah suatu kebiasaann yang bersifat magis-mistis-animistis[1].
Dalam adat ini dipercaya bahwa kemarau terjadi karena adanya kesalahan dari
pihak manusia yang menyebabkan “Nini”
(roh-roh para leluhur) marah atau “Dibata”
(bukan dalam pengertian orang Kristen sekarang). Dengan mengadakan ritual Ndilo
Uari Udan ini masyarakat mengharapkan supaya para leluhur berbelas kasih
dan menurunkan hujan.
Menurut pandangan masyarakat Karo
zaman dahulu yang masih berpikir berdasarkan aliran kepercayaan, kemarau ini
disebabkan tindakan manusia yang menyalahi adat, seperti salah satunya kawin
sumbang (perkawinan yang dilarang dalam adat Karo). Jika ada kejadian seperti
ini, maka masyarakat akan mengucilkan atau mengasingkan mereka yang kawin
sumbang tersebut. Masyarakat takut akan akibat dari perbuatan mereka yang
dipercaya akan membawa bencana.
Selain masalah kawin sumbang, masih
ada yang diyakini yang merupakan penyebab dari kemarau yang berkepanjangan.
Misalnya, masyarakat dianggap sudah merusak alam yang tidak dikehendaki oleh Nini atau Dibata.
B. Ritus
I. Mere Buah Huta-Huta
Setelah berada dalam situasi kemarau yang menyebabkan masyarakat resah,
maka biasnya akan diadakan musyawarah untuk melaksanakan ritual Ndilo Uari Udan. Dalam ritual ini
dikenal beberapa cara. Cara yang pertama
biasanya dimulai dengan ritual yang disebut dengan “Mere Buah Huta-Huta”. Ritual ini adalah penyembahan roh-roh para
leluhur yang diyakini berada di suatu tempat yang ada di daerah desa
bersangkutan. Biasanya penyembahan dilakukan di batu-batu besar atau
pohon-pohon yang diyakini tempat tinggal roh leluhur. Tempat ini disebut dengan
“Buah Huta-Huta”. Ritual ini dipimpin
seorang Guru (dukun) yang tahu hari
yang baik dan hari buruk.
II. Erlemboh-lemboh
Jika ritual Ndilo Uari Udan tidak berhasil dengan cara ini, maka dilakukan cara
yang kedua, yang dusebut dengan “Erlemboh-lemboh”.
Ritual ini dilakukan malam hari oleh masyarakat desa. Ritual ini sebenarnya
berpusat pada teriakan kepada Nini dengan
kata-kata “Muas lembu mbiring Nini e e e
e e ..... (haus lembu hitam nenek)[2]. Teriakan
ini diikuti dengan adegan persetubuhan. Tapi, adegan ini tidak dilakukan oleh
pria dan wanita, melainkan wanita saja yang diberi sebuah alat yang menyerupai
alat kelamin laki-laki. Si wanita akan melakukan adegan persetubuhan di tengah
acara ritual itu dilaksanakan. Laki-laki yang ikut dalam ritus ini mengawasi
dari kajauhan. Adegan ini sebenarnya sangat tidak sopan dalam adat masyarakat
Karo. Adegan ini hanya diperbolehkan dalam ritus ini. Ritus Erlemboh-lemboh ini akan dilaksanaka selama
4 hari.
III. Ersimbu
Jika ritual Erleboh-lemboh pun tidak
berhasil, maka dilanjutkan dengan ritual yang dikenal dengan “Ersimbu” (perang air). Kebiasaan ini dilaksanakan
di tepat yang sudah disediakan atau di sungai. Dalam ritual ini tidak berlaku
adat pantang seperti yang ada dalam adat masyarakat Karo. Semua orang yang ada
di tempat Ersimbu bebas disiram
dengan air. Bahkan orang asing yang ada di tempat itupun bebas untuk di siram. Semua
orang yang terkena siraman tidak boleh balas dendam, tapi setiap orang harus
berusaha untuk menyiram. Acara ini dibuka dengan menyiram 11 orang yang
diyakini dengan angka yang mempunyai unsur magis.
IV. Nggulangi Batu
Ritual selanjutnya adalah “Nggulangi
Batu” . ritual ini dilakukan di hutan. Ritual ini diawali dengan
penyembahan “Belo Bujur” (sirih yang
sudah didoakan). Sirih ini akan dibawa ke hutan
di tempat yang diyakini tempat keramat. Di tempat ini akan dilakukan Nggulangi Batu, pembakaran pohon lapuk,
dan pemukulan pohon-pohon. Ritual ini juga disertai dengan seruan yang berbunyi
“Udan, udan, udan wari...” ( hujanlah
hari). Ritual ini hanya dilakukan laki-laki remaja dan dewasa.
V. Pelaga Rubia-rubia
Ada satu lagi ritual yang biasa dilakuka jika ritual-ritual yang di atas
tadi tidak berhasil. Ritual yang terakhir ialah “Pelaga Rubia-Rubia”(mengadu hewan-hewan). Ritus ini bertujuan
untuk menggambarkan situasi kekeringan yang sangat parah, sehingga timbul
situasi perkelahian antara mahluk hidup di bumi demi mempertahankan hidup.
Dengan melaksanakan ritual ini diharapkan roh leluhur akan meberi pertolongan.
Acara ini dipimpin oleh dukun yang disebut dengan Guru Si Mbelin Si Mesinting” ( dukun yang sakti).
C. TUJUAN
Dengan adanya situasi kemarau yang
berkepanjangan, masyarakat Karo punya pandangan bahwa peristiwa ini pasti
akibat dari tindakan manusia yang menyalahi adat. Maka akan diselidiki apa
penyebab dari masalah itu. Setelah menemukan atau paling tidak menyimpulkan apa
penyebabnya, maka akan dilaksanakan ritual Ndilo
Uari Udan. Acara ritual ini dilaksanakan seperti yang sudah dijelaskan di
atas.
Tujuan dari seluruh ritual tersebut
adalah demi terjaganya kelangsungan hidup yang sejahtera dan kemakmuran
masyaraka, atau dengankata lain masyarakat mau keluar dari ancaman kemarau.
Dengan adanya kemarau yang berkepanjangan akan membawa masyarakat dalam situasi
yang sulit. Kesulitan itu tidak hanya dengan air untuk kebutuhan sehari-hari,
tapi juga untuk tanaman masyarakat. Mereka bisa gagal panen. Seperti kita tahu
bahwa masyarakat Karo pada umumnya hidup dari bercocok tanam. Mengapa kemarau
sanagat menggangu masyarakat Karo? Itu disebabkan di daerah Tanah Karo pada
umumnya sulit mendapat air. Itulah yang menyebabkan masyarakat Karo mengadakan
ritual-ritual untuk menurunkan hujan jika ada kemarau yang panjang. Dengan
ritual yang dilakukan itu diharapkan roh-roh para leluhur akan mendengarkan dan
melihat penderitaan mereka, dan akhirnya menolong dan menurunkan hujan.
D. REFLEKSI
Pada zaman ini, memang masih banyak ritual-ritual yang dilakukan oleh
masyarakat bersifat magis. Terutama bagi masyrakat yang sangat kental memeluk
adat-istiadat. Bagi mereka ritual dari adat itu sangat bersifat sakral dan
dipercaya dapat menolong kehidupan mereka untuk mendapat keselamatan.
Pada zaman ini juga, kita lihat
begitu berkembang banyak agama di negara ini. Tidak hanya di kota, tapi juga di daerah terpencil pun
diusahakan pengembangan agama. Salah satu yang berkembang itu adalah Kristen
Katolik. Dengan hadirnya agama yang meperkenalkan Juru Selamat yang hanya
satu-satunya itu, yaitu Yesus Kristus sendiri, maka ritual-ritual yang
mempercayai roh-roh para leluhur itu sudah terkikis sedikit demi sedikit. Tapi,
tidak begitu gampang untuk mengarahkan atau menuntun mereka yang pada awalnya
menganut agama Kepercayaan untuk beralih mengenal Yesus Juruselamat
satu-atunya.
Agama-agama yang sudah berkembang
di pedesaan pada saat ini memang sudah
cukup mempengaruhi hidup masysrakat. Dengan memperkenalkan Yesus, sebagian
besar dari mereka sudah mulai meninggalkan kebiasaan yang tidak relevan lagi
dengan zaman sekarang ini. Tapi, tidak sedikit juga orang yang tidak peduli
dengan ajaran Gereja tersebut. Mereka lebih peraya dengan kebiasaan yang sudah
mereka jalankan sejak dari leluhur mereka itu. Mereka juga berkata bahwa ritual
yang mereka jalankan itu lebih nyata hasilnya dari apa yang di ajarkan Gereja.
Masih banyak lagi alsan-alasan yang mereka kemukakanuntuk mepertahankan budaya
mereka tersebut.
Gereja Kristen, terutama Gereja Katolik sangat
melarang umatnya untuk melakukan penyembahan bagi roh-roh atau berhala. Gereja
Katolik sangat menghargai budaya dari setiap suku dari umat, tapi untuk
melakukan ritual penyembahan tidak dibenarkan oleh Gereja. Bagi Gereja hanya
ada satu yang pantas disembah, yaitu Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar