Sabtu, 26 Mei 2012

NDILO UARI UDAN
( Memanggil Hujan )

A. Pengertian
                        Ritual Ndilo Uari Udan merupakan kebiasaan masyarakat Karo pada saat terjadi kemarau yang panjang. Kebiasaan atau adat ini bertujuan untuk menurunkan hujan. Ndilo Uari Udan adalah suatu kebiasaann yang bersifat magis-mistis-animistis[1]. Dalam adat ini dipercaya bahwa kemarau terjadi karena adanya kesalahan dari pihak manusia yang menyebabkan “Nini” (roh-roh para leluhur) marah atau “Dibata” (bukan dalam pengertian orang Kristen sekarang). Dengan mengadakan ritual Ndilo Uari Udan ini masyarakat mengharapkan supaya para leluhur berbelas kasih dan menurunkan hujan.
            Menurut pandangan masyarakat Karo zaman dahulu yang masih berpikir berdasarkan aliran kepercayaan, kemarau ini disebabkan tindakan manusia yang menyalahi adat, seperti salah satunya kawin sumbang (perkawinan yang dilarang dalam adat Karo). Jika ada kejadian seperti ini, maka masyarakat akan mengucilkan atau mengasingkan mereka yang kawin sumbang tersebut. Masyarakat takut akan akibat dari perbuatan mereka yang dipercaya akan membawa bencana.
            Selain masalah kawin sumbang, masih ada yang diyakini yang merupakan penyebab dari kemarau yang berkepanjangan. Misalnya, masyarakat dianggap sudah merusak alam yang tidak dikehendaki oleh Nini atau Dibata.




B. Ritus
I. Mere Buah Huta-Huta
Setelah berada dalam situasi kemarau yang menyebabkan masyarakat resah, maka biasnya akan diadakan musyawarah untuk melaksanakan ritual Ndilo Uari Udan. Dalam ritual ini dikenal beberapa cara.  Cara yang pertama biasanya dimulai dengan ritual yang disebut dengan “Mere Buah Huta-Huta”. Ritual ini adalah penyembahan roh-roh para leluhur yang diyakini berada di suatu tempat yang ada di daerah desa bersangkutan. Biasanya penyembahan dilakukan di batu-batu besar atau pohon-pohon yang diyakini tempat tinggal roh leluhur. Tempat ini disebut dengan “Buah Huta-Huta”. Ritual ini dipimpin seorang Guru (dukun) yang tahu hari yang baik dan hari buruk.
           
II. Erlemboh-lemboh
Jika ritual  Ndilo Uari Udan tidak berhasil dengan cara ini, maka dilakukan cara yang kedua, yang dusebut dengan “Erlemboh-lemboh”. Ritual ini dilakukan malam hari oleh masyarakat desa. Ritual ini sebenarnya berpusat pada teriakan kepada Nini dengan kata-kata “Muas lembu mbiring Nini e e e e e .....  (haus lembu hitam nenek)[2]. Teriakan ini diikuti dengan adegan persetubuhan. Tapi, adegan ini tidak dilakukan oleh pria dan wanita, melainkan wanita saja yang diberi sebuah alat yang menyerupai alat kelamin laki-laki. Si wanita akan melakukan adegan persetubuhan di tengah acara ritual itu dilaksanakan. Laki-laki yang ikut dalam ritus ini mengawasi dari kajauhan. Adegan ini sebenarnya sangat tidak sopan dalam adat masyarakat Karo. Adegan ini hanya diperbolehkan dalam ritus ini. Ritus Erlemboh-lemboh ini akan dilaksanaka selama 4 hari.

III. Ersimbu
Jika ritual Erleboh-lemboh pun tidak berhasil, maka dilanjutkan dengan ritual yang dikenal dengan “Ersimbu” (perang air). Kebiasaan ini dilaksanakan di tepat yang sudah disediakan atau di sungai. Dalam ritual ini tidak berlaku adat pantang seperti yang ada dalam adat masyarakat Karo. Semua orang yang ada di tempat Ersimbu bebas disiram dengan air. Bahkan orang asing yang ada di tempat itupun bebas untuk di siram. Semua orang yang terkena siraman tidak boleh balas dendam, tapi setiap orang harus berusaha untuk menyiram. Acara ini dibuka dengan menyiram 11 orang yang diyakini dengan angka yang mempunyai unsur magis.

IV. Nggulangi Batu
Ritual selanjutnya adalah “Nggulangi Batu” . ritual ini dilakukan di hutan. Ritual ini diawali dengan penyembahan “Belo Bujur” (sirih yang sudah didoakan). Sirih ini akan dibawa ke hutan  di tempat yang diyakini tempat keramat. Di tempat ini akan dilakukan Nggulangi Batu, pembakaran pohon lapuk, dan pemukulan pohon-pohon. Ritual ini juga disertai dengan seruan yang berbunyi “Udan, udan, udan wari...” ( hujanlah hari). Ritual ini hanya dilakukan laki-laki remaja dan dewasa.


V. Pelaga Rubia-rubia
Ada satu lagi ritual yang biasa dilakuka jika ritual-ritual yang di atas tadi tidak berhasil. Ritual yang terakhir ialah “Pelaga Rubia-Rubia”(mengadu hewan-hewan). Ritus ini bertujuan untuk menggambarkan situasi kekeringan yang sangat parah, sehingga timbul situasi perkelahian antara mahluk hidup di bumi demi mempertahankan hidup. Dengan melaksanakan ritual ini diharapkan roh leluhur akan meberi pertolongan. Acara ini dipimpin oleh dukun yang disebut dengan Guru Si Mbelin Si Mesinting” ( dukun yang sakti).


C. TUJUAN
            Dengan adanya situasi kemarau yang berkepanjangan, masyarakat Karo punya pandangan bahwa peristiwa ini pasti akibat dari tindakan manusia yang menyalahi adat. Maka akan diselidiki apa penyebab dari masalah itu. Setelah menemukan atau paling tidak menyimpulkan apa penyebabnya, maka akan dilaksanakan ritual Ndilo Uari Udan. Acara ritual ini dilaksanakan seperti yang sudah dijelaskan di atas.
            Tujuan dari seluruh ritual tersebut adalah demi terjaganya kelangsungan hidup yang sejahtera dan kemakmuran masyaraka, atau dengankata lain masyarakat mau keluar dari ancaman kemarau. Dengan adanya kemarau yang berkepanjangan akan membawa masyarakat dalam situasi yang sulit. Kesulitan itu tidak hanya dengan air untuk kebutuhan sehari-hari, tapi juga untuk tanaman masyarakat. Mereka bisa gagal panen. Seperti kita tahu bahwa masyarakat Karo pada umumnya hidup dari bercocok tanam. Mengapa kemarau sanagat menggangu masyarakat Karo? Itu disebabkan di daerah Tanah Karo pada umumnya sulit mendapat air. Itulah yang menyebabkan masyarakat Karo mengadakan ritual-ritual untuk menurunkan hujan jika ada kemarau yang panjang. Dengan ritual yang dilakukan itu diharapkan roh-roh para leluhur akan mendengarkan dan melihat penderitaan mereka, dan akhirnya menolong dan menurunkan hujan.
               
 D. REFLEKSI
           
Pada zaman ini, memang masih banyak ritual-ritual yang dilakukan oleh masyarakat bersifat magis. Terutama bagi masyrakat yang sangat kental memeluk adat-istiadat. Bagi mereka ritual dari adat itu sangat bersifat sakral dan dipercaya dapat menolong kehidupan mereka untuk mendapat keselamatan.
            Pada zaman ini juga, kita lihat begitu berkembang banyak agama di negara ini. Tidak hanya di kota, tapi juga di daerah terpencil pun diusahakan pengembangan agama. Salah satu yang berkembang itu adalah Kristen Katolik. Dengan hadirnya agama yang meperkenalkan Juru Selamat yang hanya satu-satunya itu, yaitu Yesus Kristus sendiri, maka ritual-ritual yang mempercayai roh-roh para leluhur itu sudah terkikis sedikit demi sedikit. Tapi, tidak begitu gampang untuk mengarahkan atau menuntun mereka yang pada awalnya menganut agama Kepercayaan untuk beralih mengenal Yesus Juruselamat satu-atunya.
            Agama-agama yang sudah berkembang di  pedesaan pada saat ini memang sudah cukup mempengaruhi hidup masysrakat. Dengan memperkenalkan Yesus, sebagian besar dari mereka sudah mulai meninggalkan kebiasaan yang tidak relevan lagi dengan zaman sekarang ini. Tapi, tidak sedikit juga orang yang tidak peduli dengan ajaran Gereja tersebut. Mereka lebih peraya dengan kebiasaan yang sudah mereka jalankan sejak dari leluhur mereka itu. Mereka juga berkata bahwa ritual yang mereka jalankan itu lebih nyata hasilnya dari apa yang di ajarkan Gereja. Masih banyak lagi alsan-alasan yang mereka kemukakanuntuk mepertahankan budaya mereka tersebut.
            Gereja  Kristen, terutama Gereja Katolik sangat melarang umatnya untuk melakukan penyembahan bagi roh-roh atau berhala. Gereja Katolik sangat menghargai budaya dari setiap suku dari umat, tapi untuk melakukan ritual penyembahan tidak dibenarkan oleh Gereja. Bagi Gereja hanya ada satu yang pantas disembah, yaitu Allah.


[1] Pdt. DR. E. P. Gintings. Religi Karo,  (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999). hlm. 75.
[2] Pdt. DR. E. P. Gintings. Religi …, hlm.77.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar