Sabtu, 26 Mei 2012

TUAN BAGUNDA RAJA DAN MANUK SI NANGGUR DAWA (Mitos Penciptaan Suku Karo) Oleh: Jani Anwar




I. Pengantar
               Setiap suku memiliki kisah yang hendak menceritakan atau menyatakan sejarah suku itu. Kisah itu sering dimuat dalam satu cerita atau mitos. Kisah tersebut akan selalu dikisahkan karena ada nilai yang mau disampaikan darinya, misalnya saja mitos tentang asal-usul satu suku. Dari mana asal-usul suku itu menjadi sangat fundamental bagi suku itu dalam menentukan identitasnya. Bisa dikatakan mitos asal-usul itu adalah sejarah dari suku tersebut. Mitos asal-usul tersebut menggambarkan tentang bagaimana kisah penciptaan bumi dan manusia, serta darimana dan bagaimana suku itu terbentuk pada mulanya digambarkan secara singkat pada satu kisah yang telah ada dalam suku itu. Kisah asal-usul seperti itu dimiliki juga oleh suku Karo, yaitu kisah Tuan Bagunda Raja dan Manuk si Nanggur Dawa. Kisah ini menceritakan bagaimana bumi dan manusia Karo tercipta pada awalnya.
               Dewasa ini, asal usul itu dapat dikritisi dengan perkembangan agama yang ada. Baik suku Karo maupun suku yang lain telah dimasuki agama Kristen yang percaya bahwa asal usul semua yang ada, baik manusia maupun bumi ini berasal dari Allah yang adalah pencipta satu-satunya. Dengan pengaruh agama ini, bagaimana suku Karo mengambil sikap? Apakah dia tetap mempertahankan mitos asal-usul dari suku itu sendiri atau beralih kepada mitos yang ada dalam agama yang mereka peluk sekarang? Hal ini tidak akan dibahas dalam tugas ini. Yang mau dibahas ialah bagaimana mitos asal-usul dalam suku Karo itu jika dibandingkan dengan kisah penciptaan dalam Kitab Suci.



II. Mitos Penciptaan Suku Karo
TUAN BAGUNDA RAJA DAN
MANUK SI NANGGUR DAWA[1]
              Menurut cerita ada seorang putri yang bernama Inang Saribu Tua yang mempunyai seorang putra bernama Tuan Bagunda Raja. Tuan Bagunda Raja dipandang sebagai keturunan seorang dewa dan tinggal di kayangan. Tuan Bagunda Raja memiliki delapan paman yang menjadi raja di delapan penjuru mata angin. Setelah dewasa ia memilih untuk menikah dengan putri pamannya yang menjadi raja di sebelah timur yang disebut Purba, karena putri pamannya yang lain semua memiliki cacat. Setelah menikah dia tinggal di rumah pamannya di Purba.
              Setelah sekian lama tinggal di rumah pamannya itu, tanpa minta izin Tuan Bagunda Raja pergi bersama isterinya dan pulang kerumahnya di kayangan. Setelah sekian lama dia tinggal dengan isterinya di kayangan, namun dia belum juga mendapat anak. Karena itu, Tuan Bagunda Raja memeriksa isterinya kepada orang sakti. Dari pemeriksaan itu, ternyata isteri Tuan Bagunda Raja tidak dapat mengandung karena kesalahan mereka telah pergi tanpa permisi kepada pamannya yakni Kalimbubu Tuan Bagunda Raja. Maka Tuan Bagunda Raja dan isterinya pergi ke Purba untuk meminta maaf atas kesalahan yang telah mereka buat. Setelah mereka meminta maaf, tidak lama kemudian mengandunglah isteri Tuan Bagunda Raja.
              Setelah isteri Tuan Bagunda Raja mengandung, pada suatu saat dia mendengar ada suara dari perut isterinya. Ternyata itu adalah suara anaknya yang berbicara. Anak yang ada dalam kandungan itu berkata kepada Tuan Bagunda Raja bahwa dia adalah seorang anak laki-laki, dan akan dinamai Tuan Paduka Aji. Dia akan menguasai dan tinggal di dunia bawah.
              Setelah melahirkan, tidak lama kemudian mengandung lagilah isteri Tuan Bagunda Raja. Dan dia kembali mendengar ada suara dari perut isterinya yang merupakan suara anaknya. Anak itu berkata, dia adalah anak laki-laki dan harus dinamai Tuan Banua Koling. Dia akan memelihara dan tinggal di dunia tengah.
              Setelah putra Tuan Bagunda Raja yang kedua lahir dan telah dewasa, dia ditempatkan sesuai dengan permintaannya, yaitu memelihara dan tinggal di dunia tengah. Maka Tuan Bagunda Raja menggantungnya di tali sutera dan menciptakankan dunia tengah yaitu bumi ini.
              Pada suatu ketika, ayam Tuan Bagunda Raja bertanya kepada Tuan Banua Koling kapan ia akan menikah. Dia menjawab bahwa itu tergantung kepada kedua orang tuanya. Maka Manuk Si Nanggur Dawa menyampaikan itu kepada Tuan Bagunda Raja dan isterinya. Lalu ibunya mengirim satu kotak kepada Tuan Banua Koling melalui ayam Tuan Bagunda Raja. Isi kotak itu akan berubah menjadi isteri Tuan Banua koling jika dibuka setelah empat hari. Tapi kotak itu dibuka sebelum empat hari oleh Tuan Banua Koling karena tidak sabar. Maka isi kotak itu berubah menjadi setan.
              Setelah itu, ibunya mengirim kembali satu kotak. Tetapi, Tuan Banua Koling tetap membuka kotak itu sebelum waktunya. Isi dari kotak itu merubah menjadi hantu air yang bernama Sidangbela. Sekali lagi ibunya mengirim satu kotak yang berisi boneka. Kotak ini dibuka oleh Tuan Banua Koling tepat pada waktunya. Maka boneka itu berubah menjadi wanita cantik yang menjadi isteri Tuan Banua Koling.
              Setelah Tuan Banua Koling menikah, ibunya mengandung lagi, dan melahirkan seorang putri bagi Tuan Bagunda Raja dan diberi nama Dibata Kaci-Kaci. Sesuai dengan permintaanya dia diberi jabatan sebagai juru damai di antara saudara-saudaranya.
              Tibalah saatnya bagi isteri Tuan Banua Koling melahirkan. Isteri Tuan Banua Koling melahirkan tujuh anak laki-laki dan tujuh anak perempuan. Tapi mereka itu semua malas bekerja. Dari itu, Tuan Banua Koling membunuh mereka semua karena marah. Namun, mereka berubah menjadi tujuh matahari dan tujuh bulan. Setelah mereka menjelma menjadi matahari dan bulan, keadaan bumi menjadi sangat panas di siang hari dan dingin di malam hari. Karena melihat keadaan itu, kakek mereka Tuan Bagunda Raja membinasakan enam matahari dan enam bulan dan menyisakan satu matahari dan satu bulan.
              Setelah itu isteri Tuan Banua Koling melahirkan kembali delapan anak laki-laki. Dan mereka semua menjadi penguasa di delapan penjuru bumi dan bersama-sama juga memelihara kerukunan dan keselamatan bumi.



III. Komentar atas Cerita
              Mitos penciptaan Karo di atas menampilkan dua tokoh pada awal cerita. Dua tokoh itu adalah  Inang Saribu Tua dan putranya Tuan Bagunda Raja. Mereka adalah dewa yang hidup di kayangan bukan di bumi. Mereka ditampilkan memiliki sifat dan kebiasaan seperti manusia. Diceritakan bahwa Tuan Bagunda Raja menikah. Dari pernikahan Tuan Bagunda Raja inilah akan dimulai bagaimana bumi dan manusia ada dalam suku Karo. Sangat tampak dengan jelas untuk memulai kisah penciptaan ini, terlebih dahulu diawali dengan kisah yang berbelit-belit.
              Dalam mitos Karo awal penciptaan diawali dengan kelahiran anak-anak Tuan Bagunda Raja yang menjadi manusia. Ada dua putra Tuan Bagunda Raja, yakni Tuan Paduka Aji dan Tuan Banua Koling. Manusia bukan dicipta tapi buah dari pernikahan dewa. Bumi ditampilkan sebagai hadiah kepada anak kedua dari Tuan Bagunda Raja, yakni Tuan Banua Koling dan bumi akan dikuasai olehnya. Bumi diciptakan kemudian setelah manusia diciptakan. Setelah itu ditampilkan asal-usul kejahatan yang pada dasarnya adalah akibat dari ketidaksabaran manusia, sehingga sikap itu melahirkan setan-setan yang ada di bumi. Sebagai pendamai antara kedua anak laki-laki dari Tuan Bagunda Raja lahirlah seorang putri. Dia ditampilkan sebagai pendamai antara dunia bawah dan dunia tengah.
              Kemudian diceritakan kisah asal-usul benda-benda penerang. benda-benda penerang itu adalah penjelmaan dari keempat belas anak Tuan Bangunda Koling yang dibunuh. Keempat belas anak itu jahat dan malas, maka sikap itu menimbulkan kemarahan sehingga mereka semua dibunuh. Ketujuh putra Tuan Bagunda Koling berubah menjadi tujuh matahari, dan ketujuh putrinya menjadi tujuh bulan. Tujuh matahari menumbulkan hawa yang sangat panas di siang hari, dan tujuh bulan menimbulkan hawa yang sangat dingin di malam hari. Maka Tuan Bagunda Raja membunuh enam matahari dan enam bulan. Pada akhirnya yang tersisa ada satu matahari dan satu bulan yang memelihara hawa di siang dan malam hari.
              Setelah semua keturunan  pertama Tuan Banua Koling meninggal, dia mendapat kembali delapan anak laki-laki yang tersebar didelapan penjuru bumi. Mereka ditampilkan sebagai penguasa dan penjaga kedamaian di seluruh muka bumi. Delapan penjuru bumi mau menyatakan seluruh permukaan bumi.    

IV. Perbandingan Mitos Penciptaan Karo dengan Kisah Pencipta Kej. 1:1-11 
              Jika kita membandingkan kisah di atas dengan Kej. 1:1-11 sangat tampak perbedaan yang sangat jelas. Dalam Kej.1:1, tampak pelaku utama dan satu-satunya yang tampak sebagai pencipta adalah Allah. Seluruh bumi dalam keadaan kacaubalau dan tidak berbentuk. Allah dengan kreativitasNya mulai memberi bentuk dan menciptakan segala yang ada di muka bumi. Ini tampak dalam Kej.1:1 sebagaimana diproklamasikan pada ayat itu.[2]
              Sedangkan pada mitos asal-usul Karo di atas yang ditampilakan dua tokoh ibu dan anak yaitu Inang Saribu Tua dan putranya Tuan Bagunda Raja. Kisah hidup anak itulah yang akan ditampilkan sebagai asal-usul manusia dan dunia kemudian. Manusia ada bukan dari kreativitas dewa itu yang mencipta, tapi dari pernikahannya. Dia tidak ditampilkan sebagai yang berkuasa untuk mencipta dari ketiadaan. Bumi juga tampak tidak disentuh sedikit pun oleh sang dewa, baik mengatur atau mencipta yang belum lengkap pada bumi tersebut.
              Pada Kej 1 Allah mencipta secara teratur dari hari pertama sampai hari keenam. Penciptaan Allah itu menampilkan lima hal, yakni ada pemberitahuan, perintah, laporan, evaluasi dan bingkai waktu. Kelima hal ini juga mengungkapkan keteraturan karya Allah. Ada pemberitahuan bahwa Allah mencipta hanya dengan berfirman. Ini melambangkan salah satu bentuk kemahakuasaan Allah. Pada saat Allah berfirman ada perintah supaya apa yang dikehendaki-Nya terjadi. Setelah Allah memerintah ada laporan bahwa yang diperintahkan-Nya itu terjadi, dan semua yang dijadikan itu baik adanya. Pada bagian terakhir yang mau dinyatakan bahwa Allah mencipta itu dalam suatu bingkai waktu, ini dapat dilihat dengan kata-kata “Jadilah petang,..jadilah pagi..”.[3]
              Mitos Karo yang di atas tersebut jauh dari keteraturan. Meski ada bagian-bagian yang ditampilkan, tetapi tidak dengan perhitungan yang baik. Kitab Kejadian menampilkan  Allah menciptakan terlebih dahulu semua yang penting bagi kehidupan. Allah tidak langsung menciptakan manusia sebelum kebutuhannya untuk hidup tersedia. Sedangkan pada mitos asal-usul  tersebut tidak ada perhitungan yang sedemikian matang. Manusia ada mendahului bumi dan benda-benda penerang yang ada dalam alam semesta. Berarti ada yang janggal di sini. Sebelum bumi dan benda penerang yang berasal dari anak-anak Tuan Banua Koling ada, bisa dikakatakan manusia hidup dalam kegelapan. Hal-hal seperti ini yang tidak diperhitungkan sebelumnya dalam mitos asal-usul tersebut.
              Bagaimana hakikat dari ciptaan itu masing-masing? Ini merupakan pertanyaan yang penting juga untuk melihat perbandingan di antara kedua kisah tersebut. Dalam kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian, kita menemukan bahwa semua yang diciptakan Allah selalu diakhiri dengan kata-kata “Allah melihat semua itu baik”. Ini menyatakan bahwa semua ciptaan Allah itu pada dasarnya sudah baik adanya. Cipataan itu baik adanya karena berasal atau diciptakan oleh Dia yang Mahabaik dan sumber segala yang baik. Bagaimana hakikat ciptaan itu dalam mitos asal-usul Karo diatas?
              Jika dibandingkan dengan penjelasan di atas, kiranya sungguh tampak perbedaan hakikat ciptaan yang jelas antara keduanya. Allah sebagai pencipta dalam Kitab Kejadian adalah sosok yang sangat berkuasa yang mencipta hanya dengan firman-Nya, sedangkan sosok dewa pada mitos di atas bukanlah pencipta yang sungguh berkuasa tetapi hanya sebatas tokoh asal-usul yang dari keturunannya manusia berasal. Dia tidak memiliki kuasa untuk mencipta seperti Allah. Dari hal ini kita bisa melihat bahwa semua yang berasal dari dia itu tidak memiliki hakikat yang sungguh-sungguh baik seperti ciptaan Allah itu sendiri. Sebagai contoh adalah asal-usul matahari dan bulan. Benda-benda penerang ini ada bukan didasari hal yang baik pada awalnya, tetapi dari sikap marah akibat kemalasan dan kejahatan manusia. Ini menampilkan bahwa hakikat dari ciptaan dalam mitos diatas ada juga yang tidak baik pada awalnya.

V. Kesimpulan
              Dengan ini tampak jelas bahwa kisah asal-usul Karo itu sungguh sangat berbeda dari kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian tersebut. Kisah asal-usul Karo itu memiliki banyak kelemahan dalam beberapa hal seperti perhitungan yang kurang matang untuk mencipta. Jika dicermati kiranya tidak masuk akal manusia ada sebelum bumi ada. Kelemahan yang lain ada dalam sifat dewa yang kurang baik, ini berbeda dengan sifat Allah dalam Kitab Kejadian. Allah adalah yang berkuasa dan Mahabaik. Sifat dewa yang kurang baik itu tampak pada awal cerita itu, ketika dia meninggalkan rumah pamannya tanpa permisi terlebih dahulu. Disini sudah ada satu prilaku yang kurang sopan dalam diri sang dewa sendiri. Dalam suku Karo, menantu yang kurang menghargai mertuanya merupakan prilaku yang kurang terpuji. Sikap inilah yang ditampilkan pertama dalam kisah itu. Sikap itu secara langsung telah menampilkan kelemahan dari kisah asal-usul rakyat Karo itu sendiri. Meski banyak hal-hal yang tidak sebanding kita temukan dalam kisah tersebut, namun kisah itu memiliki nilai-nilai yang sangat dihargai oleh suku Karo. Nilai-nilai itu akan tetap ada jika kisah itu diceritakan kembali bagi suku Karo.    
           


[1] Z. Pangaduan Lubis, Cerita Rakyat Dari Karo, (Jakarta: Grasindo,1997), hlm. 1-7.
[2] Dianne Bergant, robert J. Karris, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 34.
[3] Dianne Bergant, robert J. Karris, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama,… hlm. 34.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar