Sabtu, 26 Mei 2012

PSIKOLOGI: IDENTITAS VERSUS KRISIS IDENTITAS (Sebuah tinjauan terhadap remaja dalam perkembangannya) Oleh: Jani Anwar, Washeros Simatupang, Saudur Lumban Gaol, Natalia Tumorang dan Zetra H. Saragih.

A. Pendahuluan
Erik H Erikson adalah seorang psikolog yang lahir di Amerika. Dia adalah seorang pemikir yang betul-betul kreatif, baik dalam ilmu psikologi, maupun pemahamannya tentang manusia. Salah satu karya Erikson yang paling terkenal dalam dunia sekarang ini adalah ”Identitas vs Krisis Identitas” para kaum muda (remaja), yang menyebabkan ketegangan dalam keluarga[1]. Dari teori yang telah diberikan Erikson ini, telah dikemukakan bagaimana keluarga itu mengarahkan dan menanggulangi anak mereka yang sukar menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Dalam perjalanan hidup ada beberapa tahap perkembangan yang sangat mempengaruhi hidup manusia. Oleh Erikson tahap ini dibagi menjadi delapan tahap. Tahap-tahap perkembangan ini sudah dimulai sejak manusia lahir. Erikson  mengungkapkan tahap-tahap perkembangan ini, supaya menusia dapat menentukan identitas dalam setiap tahapan perkembangannya.
            Dari delapan tahap perkembangan yang dikemukakan Erikson itu, dalam tulisan ini kami membahas tahap yang ke-5, yaitu “Identitas vs Krisis Identitas”.  Tulisan ini membahas perkembangan pada tahap remaja. Kami membahas tahap ini karena melihat pada saat ini banyak remaja yang belum bisa mengenal dirinya sendiri, terutama untuk menentukan identitasnya sendiri.
            Untuk memperteguh teori yang dikemukakan oleh Erikson ini, kami juga melakukan penelitian terhadap beberapa remaja. Penelitian ini kami lakukan untuk menjadi bahan perbandingan dari apa yang kami pelajari dari  teori Erikson ini.

B. Identitas Vs Krisis Identitas
Identitas vs Kebingungan merupakan tahap ke-5 dari 8 teori perkembangan rentang hidup Erikson yang dialami oleh remaja. Dalam tahap ini remaja berusaha menemukan identitasnya. Setiap remaja diharapkan mampu untuk menjalani dan mengalami seluruh proses pencarian identitas diri, supaya mereka dapat berkembang dengan baik.
            Cara untuk menemukan identitas diri adalah dengan cara mengoleksi segala pengetahuan dan pengalaman yang telah dialami, sehingga remaja dapat menyatukan pengetahuan dan pengalaman tersebut menjadi ciri khasnya. Remaja akan sering mempertanyakan dirinya dan apa pandangan orang terhadapnya. Atau dia sendiri yang bertanya pada dirinya atas pertanyaan itu.
                 
C. Faktor yang membentuk Identitas
1. Identifikasi
           Remaja diharapkan mampu mengidentifikasikan cara hidupnya, karena pada masa ini remaja akan cenderung memilih cara hidup yang menurutnya cocok. Remaja akan berusaha untuk mengurangi ikatan emosional terhadap orang tuanya. Dalam hal ini remaja akan merenovasi cara hidup yang telah diwariskan oleh orang tuanya.
Makin tinggi taraf kehidupan suatu masyarakat, makin tinggi tuntutan bagi remaja.[2] Hal ini berarti bahwa proses identifikasi setiap remaja akan selalu dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Hal inilah yang mengantar remaja pada pemahaman akan pentingnya identifikasi. Remaja akan berhadapan dengan realitas yang sama sekali baru bagi dirinya. Oleh karena itu, remaja harus mampu menemukan identitasnya tersebut.
Remaja akan mampu membuat identifikasi apabila ia melakukan eksplorasi. Inilah sebabnya mengapa remaja perlu diberi kesempatan untuk mengekspresikan dirinya. Namun, untuk membuat suatu identifikasi remaja harus memiliki relasi dengan orang lain, maka dari itu remaja perlu penuntun.
           Salah satu faktor penting untuk menemukan identitas adalah tokoh-tokoh idola. Jika remaja sulit menemukan tokoh untuk dijadikan model identifikasi, maka masalah akan timbul dalam menemukan identitas tersebut. Remaja yang kurang berekspresi akan bingung untuk menemukan identitasnya. Remaja yang seperti ini akan kurang terlibat dalam kehidupan masyarakat dan cendrung menyendiri.

 2. Eksperimentasi
              Proses pembentukan identitas remaja bermula dari keluarganya sendiri, dan terutama adalah ibu, dimana keduanya saling mengakui serta mengarahkan anak tersebut ke dalam tahap pengenalan identitas. Akan tetapi, sebelum sampai ke dalam pembentukan identitas yang matang (dewasa), proses pembentukan identitas ini harus melalui berbagai tahap yang harus dia perhatikan terutama dalam pembentukan identitas ini. Dan salah satunya ialah eksperimentasi, artinya dorongan untuk meniru sikap atau perilaku orang lain, misalnya sikap ayah, ibu, kakaknya, dan juga gurunya sendiri.[3]
Proses pembentukan identitas ini muncul sebagai suatu konfigurasi yang akan berkembang anak secara berturut-turut. Hal ini merupakan suatu tanda yang secara perlahan-lahan mengintegrasikan segala kebutuhan kepada ibunya sebagai pembentuk awal dari identitasnya.
Aspek ini memiliki suatu peranan yang sangat penting dalam pembentukan identitas remaja. Pertumbuhan identitas ini menjadi suatu proses yang pada dasarnya secara perlahan-lahan terjadi dalam diri remaja. Salah satu bentuk yang dapat dihasilkan remaja dalam dirinya ialah bentuk atau susunan yang baru, yaitu identitasnya sendiri.[4]
Akhirnya pembentukan identitas bermula pada saat ekperemintasi tidak berguna lagi, karena identitas yang baru telah muncul setelah berbagai macam bentuk masalah yang dilalui, artinya dari integrasi yang lama ke dalam suatu susunan yang baru. Dan juga pembentukan identitas ini bermula pada masa adolesensi, karena identitas tidak pernah menjadi suatu yang tetap, tetapi bersifat dinamis dalam arti, identitas yang sudah dibentuk tersebut dapat juga berubah-ubah selama individu tersebut masih hidup.

D. Faktor penting dalam perkembangan Identitas anak
Beberapa faktor yang penting dalam perkembangan Identitas  remaja.

a. Percaya Diri
                Keperpercayaan diri yang sudah dibentuk pada tahun pertama, yang diperoleh dari orang yang mengasuh dan memenuhi kebutuhan mereka. Dalam hal ini peran ibu sangat penting untuk membina kualitas hubungan yang dekat dengan anak, sehingga anak merasa aman dan kerasan. Setelah itu, peran masyarakat juga sangat penting dalam memenuhi kebutuhan anak tersebut, di antaranya dengan menerima anak itu dalam pergaulan dan memperoleh pengakuan dari masyarakat.  Pada masa ini remaja percaya pada kemampuannya sendiri dan menganggap dirinya cukup dipercaya. Ditambah dengan adanya pengakuan dan penerimaan dari masayarakat, maka kepercayaan diri ini akan semakin teguh. Anak yang kurang diberi perhatian dan kurang diterima  pada masa remaja akan mengalami krisis, yakni menarik diri dari kontak sosial, merasa kehilangan kepercayaan dan merasa ditinggalkan.

b. Sikap berdiri sendiri
Sikap berdiri sendiri diperoleh pada tahap ke dua dan ketiga dalam tahap perkembangan Erikson, remaja mulai mengenal dan menjelajahi lingkungannya. Anak yang dalam lingkungannya kurang diberi kesempatan untuk berdiri sendiri akan mengalami kebimbangan dan malu, sehingga pada masa remaja ia akan mengalami krisis di mana ia merasa masih terikat dengan orang tua mereka.

c. Keadaan keluarga dan lingkungan yang harmonis
Keadaan keluarga yang harmonis, khususnya suasana yang baik antara anak dan orang tua. Remaja selalu berusaha mencari tokoh identifikasi dan orang tua menjadi tokoh pertama yang mereka temukan. Hubungan dalam keluarga yang kurang baik atau kurang harmonis sangat mempengaruhi pembentukan identitas remaja, karena remaja akan merasa minder, menutup diri, dan kurang mendapatkan nilai-nilai positif dari orang yang setiap harinya bersama mereka.
Dari pendapat Erikson identitas juga bersifat psikososial, karena identitas itu merupakan kesatuan batin dengan tujuan masyarakat atau cita-cita masyarakat. Maka proses perkembangan identitas ini dipengaruhi juga oleh sosial dan budaya di lingkungannya. Relasi yang harmonis dengan lingkungan ini akan membawa perkembangan identitas seseorang pada hal yang positif. Dalam hal ini kita tidak lupa bahwa keharmonisan ini dapat terjadi karena adanya kesamaan dalam tujuan.[5]
            Dalam hal ini yang sangat berpengaruh ialah identitas dari masyarakat atau lingkungan sekitarnya. Namun jika dalam lingkungan ini kesamaan tujuan itu tidak bersatu, di sinilah remaja dapat kehilangan identitasnya.

d. Taraf intelektual
Taraf intelektual remaja itu adalah salah satu aspek untuk menentukan bagaimana keterlibatan mereka dalam lingkungan. Pada masa remaja mereka cenderung beradu pendapat untuk menguji kemampuan berpikirnya. Remaja mulai bersikap kritis dan tidak mau menerima begitu saja segala perintah dan pendapat dari orang tua ataupun orang lain. Mereka selalu ingin tahu alasan mengapa itu diperintahkan atau dilarang. Tidak jarang karena sikap egosentris, remaja kurang mempertimbangkan pendapat orang lain, dan membantah dengan terang-terangan pendapat yang mereka anggap kurang tepat bagi mereka.

E. Penutup
            Dari kedelapan teori perkembangan Erikson, sebenarnya ingin mengungkapkan perkembangan yang dialami setiap orang dalam hidupnya mulai dari bayi sampai akhir hayatnya. Teori ini juga memberi suatu pemahaman baru, bahwa identitas yang dimiliki manusia itu tidaklah tetap, tetapi dapat berubah selama dia masih hidup.    
            Setelah membahas teori  Erikson mengenai ”Identitas vs Krisis Identitas”, kami juga membuat bahan perbandingan dengan mengadakan penelitian kepada beberapa remaja seperti yang dibahas Erikson dalam tahap ini. Dari hasil penelitian tersebut, kami mendapat hasil yang sama dengan apa yang dikemukakan Erikson sendiri, terutama dalam hal identifikasi dan eksperimentasi. Sebagian remaja yang kami wawancarai mengungkapkan bahwa dalam menentukan identitasnya, sebagian besar dipengaruhi oleh orang-orang yang diidolakannya. Dan untuk menentukan identitas itu tampak dari ungkapan mereka, bahwa dukungan dari orang tua dan orang-orang di sekitarnya juga turut mempengaruhi mereka dalam menentukan identitasnya.

 

Daftar Pustaka



Erik H. Erikson. Identitas dan siklus hidup manusia. Jakarta: Gramedia, 1989.
Fauji H. Ahmad. Psikologi umum. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Gunarsa D. Singgih dan Ny. Singgih. Perkembangan anak dan remaja. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1983.



[1] Erik H. Erikson, Identitas dan Siklus Hidup Manusia (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm.3.
                [2] Singgih D. Gunarsa dan Ny. Singgih, Perkembangan Anak dan Remaja (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1983), hlm. 203.

[3] Drs. H. Ahmad Fauji, Psikologi Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm.165.
[4] Erik H. Erikson, Identitas dan Siklus hidup Manusia (Jakarta: Gramedis, 1989), hlm.187.

[5] Erik H. Erikson, Identitas dan Siklus hidup Manusia (Jakarta: Gramedis, 1989), hlm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar